KETIKA PEMILIK MEDIA SUDAH TERJUN KE DUNIA POLITIK PARTISAN (Ulasan terkait Pemilu dan Pilpres 2014)


Saat ini, dari sekian banyak media televisi dan radio, banyak terjadi ketimpangan atau ketidakseimbangan dalam pemberitaan karena kepentingan politik partisan. Praktis, masyarakat jadi obyek ‘perang antar media’ untuk kepentingan politik geng pemiliknya. 

Menurut Garin Nugroho, para penggerak dan pemilik media yang ikut terjun ke dalam politik menjadi era baru antara bisnis dengan kekuatan politik. Kekuatan media, khususnya pemilik stasiun televisi akan turut mewarnai pertarungan politik di 2014.

Ia mengaku khawatir hal itu akan berdampak pada komunikasi publik kode etik komunikasi dalam kehidupan berdemokrasi. "Hanya politik dealer saja, gagasan tak ada. Tahun 2014 akan ada perubahan besar. Bisnis tercipta antara politik dan media," jelasnya.

Banyaknya pemilik modal yang berasal dari partai politik atau ingin terjun di dunia politik kekuasaan, berasal dari para penguasa media di Indonesia,

1. Metro TV kepemilikan Surya Paloh
2. Viva, ANTV, TV One kepemilikan Abu Rizal Bakrie
3. RCTI, MNC, Global TV, Trijaya FM kepemilikan Hari Tanoe Soedibjo
4. Trans TV, Trans 7, Detik kepemilikan Chairul Tanjung
5. Jawa Pos, Dahlan Iskan

Ini sudah pasti untuk kepentingan politik, dan televisi-televisi pasti berafiliasi dengan pemilik. Apalagi kalau  pemiliknya berafiliasi dengan parpol atau golongan tertentu.

Kasus terbaru adalah kasus Tommy yang membuat seorang pengusaha Hary Tanoesudibyo, pemilik Bhakti Investama, terseret ke dalam pusaran kasus tersebut. Seorang komisaris independen dan seorang yang mengaku karyawan perusahaan miliki Hary diperiksa oleh KPK dalam kasus suap terhadap karyawan pajak tersebut. Yang menarik adalah pernyataan Hary Tanoesudibyo yang menyebut kasusnya itu bermuatan politis.

Kesadaran itulah yang sekarang ada pada Hary yang merasa kasus yang terkait dengan bisnisnya sudah dibawa ke ranah politik. Sebagai orang yang bergerak dalam bisnis media pun dia tahu, bahwa lawannya juga menggunakan media untuk menyerangnya. Sama seperti media yang berada di bawah naungan kelompok usahanya, yang dengan penuh semangat memberitakan kasus Lapindo.
Dalam bisnis media yang pro-pasar, seperti kata McQuail, peran pemiliki sangat besar dalam menentukan sebuah berita disiarkan atau tidak.  Saling incar kelemahan kemudian digunakan sebagai alat untuk saling sandera adalah kelaziman dalam dunia politik Indonesia beberapa tahun terakhir ini.

Kasus Century, kasus pajak, kasus Lapindo dan beberapa kasus lain digunakan oleh para politisi untuk menyerang lawan politiknya. Dalam memainkan kartu truf,  para politisi – pengusaha itu tak segan-segan memanfaatkan media miliknya untuk menyerang lawan politiknya.

Beberapa politisi-pengusaha memiliki media yang besar untuk menunjang karir politiknya sekaligus digunakan sebagai alat propaganda. Suatu ketika ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum pernah ditanya mengenai maraknya kasus yang menimpa partainya yang ramai diberitakan media. Dengan santai Anas mengatakan, itu karena Demokrat tidak punya televisi. Pernyataan Anas itu menggambarkan bagaimana partai yang dipimpinnya – dan juga dirinya – babak belur dihantam berita negatif yang tak kunjung berhenti. Dua kelompok media yang dimiliki oleh dua pemimpin parpol menggunakan pemerintah dan Demokrat sebagai sasaran tembak pemberitaannya. Para politisi pemilik media sudah menggunakan media untuk kepentingan politiknya, karena mereka tahu efektivitas sangat kuat dari media dalam memengaruhi agenda masyarakat.

Melihat potensi itu, para politisi terjun dalam bisnis media, begitu juga sebaliknya pengusaha media terjun ke dunia politik. Saat ini ada dua kelompok media yang saling bersaing dalam memerebutkan pengaruh masyarakat, yakni kelompok Metro TV dan kelompok Vivanews. Bahkan kini kelompok Metro TV yang mendukung partai Nasdem menjadi semakin besar kekuatannya setelah kelompok media MNC – RCTI, MNCTV dan Global TV – ikut bergabung dalam barisan Nasdem. Kelompok usaha ini tidak hanya menjadi pendukung, tapi sudah terjun secara penuh dengan menempatkan pemilik perusahaan itu sebagai Ketua Dewan Pakar Nasdem. Sejak kelahirannya partai ini menyita banyak perhatian masyarakat, termasuk partai yang sudah lama, karena mendapat dukungan publikasi yang sangat besar dari media. Diantara partai yang kebakaran jenggot dengan lahirnya Nasdem adalah partai Golkar, karena banyak kadernya yang lari bergabung dengan partai baru tersebut. Peta kekuatan politik – media pun terbentuk dengan jelas dalam pertarungan antara Metro TV yang didukung MNC Grup di kubu Nasdem dengan kubu Golkar yang didukung Vivanews, TVOne dan AnTV.

Polarisasi dua kekuatan ini berdampak pada kebijakan politik pemberitaan masing-masing media, mana berita yang harus ditayangkan dan mana yang tidak boleh ditayangkan. Dalam propagandanya, kelompok Metro dan MNC bisa menyiarkan acara Nasdem dalam durasi yang cukup lama. Metro TV misalnya, bisa menyiarkan pidato Ketua Nasdem secara live dari berbagai penjuru Indonesia. Hary Tanoesudibyo pun jadi iklan Nasdem yang disiarkan media miliknya. Dalam kasus pajak misalnya, Metro tentu tidak membuat liputan yang galak, seperti saat memberitakan peristiwa yang dianggap sebagai kesalahan pemerintah. Di kubu yang lain, TVOne dan AnTV rajin memberitakan aktivitas ketua umum Partai Golkar yang juga pemiliki kelompok media tersebut. Hanya saja dalam penyajian volume beritanya, tidak sebanyak Metro saat menyiarkan pidato politik ketua Nasdem. Tapi dalam hal menyembunyikan berita yang tidak boleh disampaikan ke publik, kedua kelompok ini memiliki kebijakan yang sama. TVOne, ANTV dan kelompok Vivanews tidak akan memberitakan kasus Lapindo yang tidak kunjung usai itu.

Ketika korban Lapindo menggelar peringatan enam tahun tragedi tersebut, Metro dan MNC memberitakannya dengan porsi yang besar. Tapi jangan coba mencari berita itu di kelompok Vivanews, tentu tidak ada. Sebaliknya ketika kasus pajak Tommy ini muncul, kelompok Viva dengan gencar memberitakan, karena ada daya tarik nama Bhakti Investama. Ketika banyak media belum mengaitkan kasus ini dengan Hary Tanoesudibyo, Vivanews sudah gencar menampilkan nama bos media itu dengan kasus tersebut.

Kasus terbaru, Dahlan Iskan Menteri Negara BUMN sekaligus pemilik Media Jawa Pos juga terlihat mulai dihakimi di beberapa media terkait korupsi PLN 37 Triliun Rupiah saat ia menjabat di sana. Kita lihat apakah akan ada serangan balik dari media miliknya ?

Ini persis yang terjadi di Negara lain juga, seperti halnya kasus skandal perselingkuhan Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi yang akhirnya berlanjut dalam bentuk perang antar raksasa media. Berlusconi yang juga dikenal sebagai pemilik surat kabar dan televisi Italia. Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi, mengatakan pemberitaan di sebuah surat kabar Inggris, The Times, terkait skandal hubungan gelapnya dengan model pakaian dalam berusia 17 tahun, sebenarnya merupakan bentuk ketidaksenangan bos raksasa media Newscorp, Rupert Murdoch, terhadapnya.

Sebenarnya, tidak ada yang salah ketika sebuah media massa dimiliki oleh pihak tertentu seperti elit partai politik asalkan si pemilik media mengerti batasan-batasan yang harus dipenuhi agar media tidak menjadi corong kepentingan politik partainya. Tetapi nampaknya batasan-batasan yang harus dipatuhi oleh pemilik media begitu sulit untuk tidak dilanggar. Konsumen media massa begitu menggoda pemilik media, menggoda nafsu mereka untuk mempengaruhi khalayak media agar dapat menerima misi politiknya. Bisa dikatakan problematika tersebut merupakan tantangan baru bagi pers masa kini. Pemilik media menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi isi media dari beragam faktor lainnya.

Media yang bebas sama pentingnya dengan peradilan yang independen, Kedua kekuasaan ini memainkan peran sebagai kekuasaan tandingan melawan tirani dalam siklus kerja program pemerintah.

Sumber / Referensi :