Mengkritisi Kebijakan Pelarangan Penjualan Solar Bersubsidi



Mulai 1 Agustus 2014, SPBU di Jakarta Pusat dilarang berjualan solar bersubsidi. Tidak hanya itu, pemerintah melalui BPH Migas juga akan membatasi waktu operasional penjualan solar. Mulai tanggal 4 Agustus, jam penjualan solar di sejumlah SPBU wilayah Jakarta dibatasi mulai pukul 8 pagi sampai 6 sore. Kebijakan yang lain adalah mulai tanggal 6 Agustus BBM jenis premium akan dihapuskan di seluruh SPBU yang ada di rest area jalan tol. Kebijakan tersebut, tertuang dalam surat edaran Kepala BPH Migas No. 937/07/KaBPH/2014 tanggal 24 Juli 2014. Kebijakan anyar ini ditetapkan pemerintah sebagai bentuk pengendalian untuk menghindari jebolnya kuota minyak solar dan premium hingga akhir tahun ini. Kebijakan ini merupakan respons dari penetapan kuota BBM bersubsidi di APBNP 2014 yang turun dari 48 juta kiloliter (KL).

Pengamat perminyakan Kurtubi menilai kebijakan tersebut tidak efektif. Kebijakan itu justru akan menimbulkan masalah baru dan menganggu kegiatan ekonomi masyarakat. “Masyarakat yang berada di Jakpus akan kesulitan mencari solar, sementara di SPBU yang lain akan terjadi antrian panjang. Itu tentu bikin kesel rakyat. Waktu habis hanya untuk ngantre. Ini gak efisien dan menganggu kegiatan ekonomi masyarakat,” ujar Kurtubi. 

Terganggunya ekonomi nasional mengakibatkan efek berantai. Mulai dari turunnya pertumbuhan ekonomi nasional, menurunnya penciptaan lapangan kerja dan naiknya harga-harga barang dan jasa. Kenaikan harga terjadi karena sejumlah kendaraan distribusi barang seperti truk beralih ke solar nonsubsidi karena kesulitan mendapatkan solar bersubsidi. Kalau BBM untuk rakyat dibatasi kegiatan ekonomi akan berkurang. Angkutan barang bisa mengurangi jam operasionalnya dan ini akan mengakibatkan PHK.

Kebijakan tersebut juga tidak akan efektif membuat warga Jakarta Pusat yang menggunakan solar bersubsidi beralih ke BBM nonsubsidi. Warga Menteng yang punya mobil mewah dengan bahan bakar solar tak akan beralih ke solar nonsubsidi. Kebijakan tersebut hanya memindahkan konsumsi dari Jakarta Pusat ke wilayah Jakarta lainnya yang tidak ada larangan. Jika ingin melakukan pembatasan BBM bersubsidi di Jakarta Pusat, maka yang harusnya di batasi bukan BBM jenis solar akan tetapi jenis premium.

Pengamat Energi Marwan Batubara menilai kebijakan ini tidak efektif karena ujung-ujungnya hanya menyusahkan masyarakat yang paling kena dampaknya. Padahal, penggunaan solar subsidi ini biasanya digunakan untuk kendaraan umum seperti bus metromini dan kopaja. “Waktunya tidak pas, karena moment setelah lebaran. Belum lagi sosialisasinya sangat mendadak. Pastinya habis lebaran ini orang-orang menghindari adanya aksi demo. Ini dampaknya tidak signifikan, seharusnya dengan mempertahankan atau menaikkan harga solar subsidi dengan kuota yang sekarang ini," ujarnya.

Kebijakan ini sepertinya hanya 'angin' saja, bahkan hanya sia-sia saja. Karena, pada dasarnya masyarakat mampu tidak ada larangannya membeli BBM subsidi. Ini juga tidak ada aturan yang mengikatnya. Pemerintah seakan membuat kebijakan yang setengah-setengah, tidak efektif ujungnya. Karena orang yang mampu tidak dilarang untuk beli BBM subsidi, dan itu sudah sejak dulu tidak ada aturannya, aturan tanpa sanksi juga tidak ada. 

Salah satu cara efektif adalah dengan menyesuaikan harga pasar dengan BBM bersubsidi. Selanjutnya jika mau mengeluarkan kebijakan hal diutamakan adalah minimal dampak untuk masyarakat kecil.

Selama ini kebijakan pemerintah ini tidak sesuai dengan mekanisme pasar dan tidak memikirkan jangka panjang. Akibatnya, ketidakefektifan BBM bersubsidi terus berlanjut sehingga menyebabkan jebolnya kuota BBM bersubsidi. Dampaknya saat kemarin inflasi, kenaikan BBM 30 persen seakan tidak terasa, belum lagi rupiah juga terdepresiasi.

Pengusaha angkutan umum metromini, Azaz Tigor Nainggolan menilai rencana pemerintah untuk melarang penjualan solar subsidi di wilayah Jakarta Pusat adalah kebijakan konyol. Sebab, kebijakan tersebut malah dapat menimbulkan pelanggaran baru dengan mencari solar subsidi di wilayah lain. “Itu bukan lagi kebijakan pengendalian karena pasti banyak bocornya apalagi hanya di Jakarta Pusat,” kata Tigor.

Menurut dia, jika pemerintah berniat mengendalikan konsumsi solar subsidi, semestinya dilakukan secara merata di seluruh wilayah Jakarta. Namun, pengetatan itu sebaiknya dipriortiaskan bagi para pengguna kendaraan pribadi yang notabene memiliki daya beli yang besar. “Kalau angkutan umum juga ya artinya enggak ada keberpihakan, ini ibaratnya kebijakan malas,” ujarnya.

Alternatif lainnya, pemerintah langsung saja menerapkan harga jual solar berdasarkan harga keekonomiannya. Penghematannya kemudian dialihkan untuk subsidi pengembangan infrastruktur dan sektor-sektor transportasi.

Sementara itu, perusahaan bus pariwisata mulai ancang-ancang mengatur kebijakan baru menghadapi rencana pembatasan solar subsidi mulai 4 Agustus. Potensi terbesar adalah dilakukan penyesuaian harga alias terjadi kenaikan tarif atas sewa jasa moda transportasi tersebut. Head of Public Relations Blue Bird Group Teguh Wijayanto mengatakan, pihaknya masih menunggu sosialisasi resmi dari pemerintah, termasuk hasil keputusan dari Organisasi Angkutan Darat (Organda). ”Kalau memang kita (bus pariwisata) termasuk kena dampak signifikan, ya melakukan penyesuaian harga,” ungkapnya.

Penyesuaian harga perlu dilakukan karena berlakunya jam penjualan solar bersubsidi bisa berdampak pada banyak hal. Terutama kepadatan di SPBU karena terjadi pembelian solar bersubsidi pada momen yang sama. Padahal, bus pariwisata sulit untuk ikut mengantre karena terkait dengan layanan kepada para penyewa. Sebagai langkah antisipasi, pihaknya siap-siap membeli solar nonsubsidi yang harganya lebih mahal. Padahal peran bus pariwisata tidak sekadar untuk kegiatan wisata. Selain melayani kebutuhan berwisata, juga melayani antar jemput sekolah dan antar jemput karyawan perusahaan. 

Sejumlah pengemudi angkutan umum juga mengeluh, umumnya mereka yang mengeluh adalah para sopir angkutan kota Metromini. Marlon Pangaribuan (55), sopir bus Mayasari Bhakti 9A jurusan Senen-Bekasi menyayangkan kebijakan itu. Bukan hanya Marlon, para sopir lainnya juga mengeluhkan hal itu, termasuk para sopir Kopaja.  Mereka mengaku kebingungan jika harus mencari SPBU yang solarnya masih bersubsidi. Akibat penghapusan bahan bakar solar itu, banyak sopir terpaksa menombok uang setoran. Banyak sopir angkutan menuding pemerintah sengaja menghilangkan solar bersubsidi menjadi nonsubsidi untuk mematikan pengusaha dan sopir angkutan perkotaan di Jakarta. "Parah kalau seperti ini jadinya. Harusnya pemerintah lihat warga yang miskin seperti kami ini. Jangan  memaksakan kebijakan yang merugikan masyarakat banyak dan miskin," cetusnya. 

Organisasi Angkutan Darat (Organda) Jakarta pun akhirnya mengeluarkan ancaman  mogok mengangkut barang dan penumpang, sebagai langkah untuk  memprotes pembatasan solar bersubsidi tersebut. Ketua Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan mengatakan, pembatasan waktu pembelian solar bersubsidi dinilai membebani pengusaha akibat meningkatnya ongkos operasional. Padahal kata dia, pembatasan BBM solar yang mulai diterapkan di Jakarta Pusat  gagal menghemat BBM bersubsidi. Shafruhan menambahkan kebijakan pengurangan BBM Solar bersubsidi akan mengganggu waktu perjalanan kendaraan. Sebab sopir  mesti antre membeli solar bersubsidi di tempat lain. 

Upaya pemerintah dalam pembatasan BBM selalu gagap. Termasuk proyek pemasangan Radio Frequency Identification (RFID) yang dilakukan oleh Pertamina di Jabodetabek yang dinilainya tidak jelas. Sampai sekarang kelanjutan proyek tersebut tidak jelas. Dana dari proyek itu pun tak jelas.