E-Ticket Transjakarta Yang Tergesa - Gesa



Mulai tanggal 11 Agustus 2014 kemarin, semua busway alias bus Transjakarta yang melayani koridor I atau rute Blok M–Kota tidak lagi menerima tiket kertas seperti biasa. Penumpang harus membayar dengan tiket elektronik yang bisa dibeli di halte Transjakarta. Selain koridor I, sistem e-ticketing juga diberlakukan di beberapa halte koridor lain. 

Namun masih banyak pengguna Transjakarta yang belum mau memanfaatkan tiket elektronik atau e-ticket Transjakarta. Produk kartu e-ticket kini dijual dengan harga Rp 20.000 dan Rp 50.000. Kartu ini keluaran lima bank yang berbeda, yakni bank BNI, BRI, BCA, Mandiri dan bank DKI. Idenya sudah bagus, dengan kartu tersebut diharapkan para penumpang dapat lebih cepat dan praktis dalam bertransaksi menggunakan Transjakarta. Penumpang tidak lagi direpotkan dengan uang kembalian. Sedangkan bagi Manajemen Transjakarta, sistem e-ticket akan lebih aman, transparan dan akuntabel. Bagi pemerintah sendiri manfaatnya adalah menciptakan cashless society. Penerapan e-ticketing di 12 koridor bus transjakarta kini telah menghabiskan dana sebesar Rp 43 miliar. 

Saat ini jumlah penumpang yang menggunakan e-ticket, masih kalah jauh dibanding penumpang yang masih membayar tiket dengan uang cash. Koordinator lapangan (Korlap) pemasaran e-ticket di Harmoni, Jeffry mengakui, dari 100 persen penumpang busway, ia memperkirakan baru 20-30 persen saja yang menggunakan e-tiket. Mereka yang enggan memanfaatkan e-ticket, beralasan tidak setiap hari menggunakan bus Transjakarta. Sehingga jika membeli e-ticket, mereka khawatir saldonya hangus lantaran tidak dipakai. Akhirnya kemudian muncul wacana menerapkan tarif lebih mahal terhadap penumpang yang membeli tiket secara tunai. Misalnya tarif e-ticketing Rp 3.500 untuk sekali naik bus Transjakarta, maka penumpang dengan tiket manual dikenai tarif Rp 5.000. Dengan harapan untuk mendorong masyarakat mau menerapkan e-ticketing. Banyak pihak juga mengeluhkan mesin pendeteksi e-Ticketing,  mesin tersebut terkadang sering error dan tidak mendeteksi ketika meng-tap di mesin gate tiket. Sehingga e-ticketing bukan tambah cepat, malah justru jadi lelet. 

Penerapan e-ticket memang keniscayaan dan harus didukung, namun proses berjalannya harus terus dikawal dan dikritisi. Untuk pemberlakukan saat ini, rasanya masih ada yang belum pas, pasalnya penumpang tidak memiliki pilihan untuk alternatif membeli tiket sekali jalan. Sistemnya seperti memaksa orang untuk berlangganan bus Transjakarta, padahal belum tentu ia menggunakan angkutan ini setiap hari. Hal ini yang akan mengancam menurunnya jumlah penumpang transjakarta. Seharusnya PT Transjakarta memberikan beberapa pilihan, menggunakan e-ticket berlangganan atau untuk yang hanya sekali jalan. 

Pengamat transportasi juga menilai pengelola Transjakarta terlalu tergesa-gesa dengan menghilangkan sistem tiket integrasi hanya karena alasan e-ticketing. "Di mana-mana kalau namanya integrasi harusnya lebih murah," kata seorang pengamat transportasi, Danang Parikesit. Dengan menghilangkan tiket integrasi diganti dengan e-ticketing, penumpang akan membayar dua kali. Kemudian, belum semua halte menyediakan layanan isi ulang kartu, saat ini penumpang hanya bisa mengisi di halte tertentu saja, artinya belum ada kemudahan. Direktur Utama Institute for Transportation and Development Policy Indonesia Yoga Adiwinarto juga menyayangkan langkah ini. Menurutnya, hal ini akan berimbas pada turunnya jumlah penumpang transjakarta. "Seharusnya antara operator angkutan integrasi dan Transjakarta duduk bersama merumuskan konsep yang pas," katanya.