Memaknai Kembali Kemerdekaan
Besok kita akan merayakan hari kemerdekaan Negara kita
tercinta, HUT RI Ke 69. Mulai sepekan kemarin sudah terasa aura kemenangannya.
Di jalan-jalanpun sang merah putih sudah berkibar dengan ketangguhannya,
menantang angin, menggapai gedung, mengingatkan pada tiap insannya untuk terus
berkarya membangun negeri ini.. semarak momen indah yang rutin kita rayakan
tiap tahun.. Namun dibalik semarak perayaan yang akan digelar besok,
kenyataan yang tak terbantahkan bahwa kemerdekaan belum sepenuhnya dialami
rakyat. Yang baru benar-benar merdeka adalah negara Indonesia. Walaupun
Indonesia memang bebas untuk menentukan langkah hidup dan masa depannya
sendiri. Tapi rakyatnya belum
betul-betul merdeka.
Kita sebagai sebuah bangsa masih menyisakan luka menganga yang harus
segera diobati. Bangsa Indonesia, kini dihadapkan pada krisis multidimensi yang
berkepanjangan. Krisis yang disebabkan oleh buruknya pengelolaan negara, bahkan
disebabkan oleh keserakahan dan kerakusan pemimpin bangsa ini. Ketika keadilan
hanya dijadikan sebagai barang dagangan yang dijajakan di jalan-jalan ketika
pemilihan umum berlangsung. Ketika kesejahteraan dan kemakmuran menjadi kata
yang absurd karena hanya diperuntukkan bagi sebagian orang
atau golongan/ kelompok bangsa ini. Kemiskinan, pengangguran, utang luar
negeri, utang pemerintah, utang swasta, dan konflik internal terus mewarnai perjalanan
anak bangsa ini. Penyebabnya terkadang sepele, namun penyelesaiannya begitu
rumit, karena akar sebabnya ternyata begitu akut untuk disembuhkan. Pertanyaan
mendasarnya, apakah bangsa ini sudah layak dikatakan merdeka memang sulit untuk
dijawab. Secara fisik baik de facto maupun de jure negara
ini sepenuhnya dapat dikatakan merdeka. Namun dilihat realita yang sedang
dihadapi bangsa ini menjadi tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut.
Walau kenyataanya
seperti itu, masih ada secercah harapan yang harus kita pertahankan. Harus ada
angin optimisme yang senantiasa berhembus, agar kapal layar bangsa ini tetap
berjalan. Harapan tanpa optimisme, bagai bayang-bayang semu yang pesakitan. Ia
akan rapuh dan berjalan tertatih-tatih, terombang-ambing dalam deru zaman yang
terus bejalan. Mengutip pernyataan Dr. Schwartz penulis buku best
seller Berpikir dan Berjiwa Besar bahwa pemikir besar adalah ahli
dalam menciptakan gambar yang positif, memandang ke depan, optimistis baik di
dalam pikiran mereka sendiri maupun pemikiran orang lain. Senada, Anis Matta
mengatakan bahwa pekerjaan-pekerjaan besar dalam sejarah hanya dapat
diselesaikan oleh mereka yang mempunyai naluri kepahlawanan.
Tantangan-tantangan besar dalam sejarah hanya dapat dijawab oleh mereka yang
mempunyai naluri kepahlawanan. Itulah sebabnya para pahlawan itu orang-orang
besar.
Memaknai kembali
kemerdekaan dan upaya untuk mensyukurinya bukan sekedar memperingatinya, maka
bangsa dan negara ini meminta kepada rahim ibu-ibu penduduk negeri ini untuk
segera melahirkan para pahlawan yang senantiasa siap berjuang
dengan mengedepankan nilai-nilai keberanian, kesabaran, pengorbanan, kompetisi,
optimisme dan siap menerima tantangan-tantangan besar. Para pahlawan yang senantiasa
berpikir dan bertindak agar bagaimana membebaskan bangsa ini dari penindasan
dan tirani yang menjerat dan merampas makna kemerdekaan itu dari rakyat
Indonesia. Bukan sekedar pahlawan-pahlawanan, pahlawan kesiangan bahkan
pahlawan palsu. Karena istilah-istilah tersebut, populer kita dengar terutama
pasca terjadinya reformasi di negeri ini.
Menciptakan
kepahlawanan bukan sekedar kerja individu melainkan kerja kolektif. Kerja
kolektif yang dilandasi oleh kesadaran akan kebutuhan bersama, tujuan bersama,
cita-cita bersama pada akhirnya akan dilaksanakan dengan aksi bersama. Dengan
keyakinan bersama bahwa momentum bukan sekedar celah atau potongan sejarah yang
dimanfaatkan. Namun lebih dari itu, sebagai anak bangsa, sebagai manusia, kita
wajib percaya bahwa kerja dan usaha merupakan syarat bagi sebuah keberhasilan,
Indonesia saat ini, membutuhkan anak-anak-anak bangsa,
yang mempunyai sifat-sifat kepahlawanan yang selalu terukir dan terpatri dalam
alam bawah sadar mereka, dalam pemikiran mereka, dalam ideologi mereka, yaitu
sifat-sifat optimisme, keberanian, kesabaran, pengorbanan, kompetisi, dan siap
menerima tantangan-tantangan besar.
(dikutip dari buku Dari Gerakan ke Negara karya
Anis Matta)