SEJARAH KEKERASAN REZIM MILITER PENGUASA
Kekuasaan identik dengan
militerisme , karena dengan itulah umumnya penguasa memebentengi kekuasaannya.
Kecuali mereka yang dirahmati Allah SWT.
Hampir menjadi fakta sejarah
bahwa budaya militerisme lebih banyak mewarnai gaya hidup penguasa yang pernah
ada di muka bumi ini. Karena, selain ditopang
oleh status sosial dan jabatannya, hanya para penguasalah yang kemudian
bisa mendukung jiwa militerismenya itu dengan kekuatan senjata. Lebih – lebih pada
era militerisme modern, ketika senjata tidak lagi sekedar pedang atau tombak,
tentu para penguasa yang lebih mungkin bisa memilikinya.
Namun, tradisi militerisme dalam
kekuasaan sudah dikenal manusia sejak lama. Bahkan jiwa militerisme itu sendiri
sebenarnya secara potensial ada pada diri setiap manusia. Minimal jiwa
konfrontasi, sesuatu yang suka atau tidak suka menjadi warna dominan bagi
kehidupan militer.
Mulanya, sejarah mengenal kisal
Qabil dan Habil. Dua anak Nabi Adam ini
mempersembahkan korbannya masing – masing. Apa yang dipersembahkan Habil
diterima tetapi tidak demikian halnya dengan Qabil, apa yang dipersembahkannya
tidak diterima. Maka, Qabil pun membunuh Habil. Lalu, seiring perjalannya waktu,
jiwa militerisme manusia menemukan banyak wadah dan wajah formal. Ada masa –
masa militerisme tradisional, ada juga fase – fase militerisme era modern.
Dalam kisah – kisah para penguasa
yang muncul selama ini, banyak menggambarkan betapa pendekatan stabilitas
keamanan menjadi pilihan utama mereka. Tidak hanya dalam satu atau dua kisah,
tetapi beberapa ilustrasi tentang militerisme hampir selalu beriring bersama
kisah para pembangkang rasul – rasul. Dan fenomena ini menjadikan sejarah
militerisme selalu berada pada posisi buruk, karena senantiasa berhadapan
dengan kebenaran (al-haq).
Fir’aun misalnya bisa dibilang merupakan sosok
penting mewakili figure – figure militer yang Bengal. Betapa muramnya sejarah
militerisme para penguasa itu bila melihat kelakuan Fir’aun. Semua informasi yang membicarakan Fir’aun selalu menggambarkan nuansa diktator,
otoriter, angkuh, arogan, berdarah dingin dan sekaligus bengisnya seorang
penguasa. Jiwa seperti itulah yang
lantas melahirkan policy Fir’aun bahwa pendekatan stabilitas keamanan merupakan
jalan terbaik untuk melanggengkan kekuasaannya. Ia sangat khawatir kalau
kerajannya dihancurkan oleh rakyatnya. Lebih – lebih ketika hari – hari menjelang
kedatangan Nabi Musa yang kian dekat.
Sesungguhnya Fir’aun telah
berbuat sewenang – wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah –
belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki – laki mereka
dan membiarkan hidup anak – anak perempuan mereka. Sesunggunya Fir’aun termasuk
orang – orang yang berbuat kerusakan.
Di kemudian hari, saat Fir’aun
kalah bertanding melawan Nabi Musa, dan para tukang sihirnya beriman kepada Tuhan Nabi Musa,
kembali gaya itu Fir'aun teguhkan, “Apakah kamu sekalian (tukang sihir) beriman
kepada Musa sebelum aku member izin kepadamu?” Setelah itu, putusan
militerismenya yang kejam keluar, “Maka kamu nanti pasti benar – benar akan
mengetahui (akibat perbuatanmu); sesungguhnya aku akan memotong tanganmu dan
kakimu dengan bersilangan dank au akan menyalibmu semuanya.”
Pola serupa juga dilakukan oleh
para raja Najran dan Yaman. Ketika rakyatnya beriman kepada Allah dan tidak lagi
mengakui raja Najran sebagai Tuhan, ia gunakan gaya militernya untuk menumpas
pengikut kebenaran itu. Caranya dengan menggali parit yang dalam. Parit itu
diisi dengan kayu bakar, lalu orang – orang beriman itu dimasukan ke dalam parit dan semua dibakar hidup –hidup.
Di masa Rasulullah Muhammad SAW,
gaya militerisme pembesar Quraisy juga banyak mengoyak perjuangan beliau. Meski
mulanya masih dicoba dilakukan dialog – dialog, tetapi akhirnya gaya militer
mereka yang berbicara, tidak saja terror mental, tetapi juga terror fisik.
Mereka yang masuk Islam disiksa dengan kejam. Rasulullah sendiri pun hendak
mereka bunuh pada malam hijrah. Kelak, mereka pun bersekutu denga kaum Yahudi
untuk menyerbu Madinah.
Kenyataan – kenyataaan seperti
inilah, barangkali yang mendasari Balqis, ratu Saba’ untuk menduga bahwa Nabi
Sulaiman pun adalah penguasa militer yang kejam. Ada rasa khawatir dalam
dirinya. “Sesungguhnya raja – raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya
mereka membinasaknnya, dan menjadikanpenduduknya yang mulia jadi hina dan
demikian pulalah yang akan mereka perbuat,” ungkap ratu Balqis.
Bukan berarti budaya militer itu
tidak ada dalam kerajaan Saba’. Dalam
dialog menanggapi ancaman Nabi Sulaiman, penonjolan aspek militer ini sempat
menjadi masukan penting dari para pembantunya. Saat dimintai pendapatnya, para
pembesar di sekeliling Balqis menjawab “Kita adalah orang – orang yang
memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam
peperangan), dan keputusan berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang
akan kamu perintahkan.”
Lalu, apakah kekuasaan dalam
Islam harus steril dari militer? Bukan begitu kesimpulannya, bagi Islam ialah militer
merupakan salah satu sisi yang tidak terlepas dalam jangkauan keuniversalan
ajarannya. Tetapi segalanya menjadi lebih
beradab dan bermoral dalam timbangan Islam. Tidak itu saja, militerisme dalam
Islam jauh lebih terhormat dari sekadar konfrontasi atas dasar ego atau
fanatisme buta. Ia menjadi labuhan rindu bagi pecinta dan pemburu mati syahid
fi sabilillah. Dalam tradisi jihad yang agung, militerisme Islam menemukan jati
dirinya yang paling mulia. Maka lihatlah Sulaiman, penguasa dengan bergam
tentara, bahkan hingga jin sekalipun. Tetapi gegap gempita kekuasaannya menjadi
begitu muia, saat ia berkata, “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku
apakah aku bersyukur atau menginkari
(akan nikmatNya).”
ditulis oleh Marlia Soebari