Jeratan Hutang Membuat Negeri ini Kehilangan Duapertiga Nafasnya
Lemah akal, minimnya kualitas SDM, dan keserakahan telah
membuat Indonesia kehilangan muka. Pintu kemakmuran yang sejatinya siap
dimasuki Indonesia dengan istilah “lepas landas” bukan saja tertutup, melainkan
pintu itu sendiri seakan hilang dan kabur dalam tujuan.
Lihatlah negeri ini, Indonesia. Negeri ini memiliki
segalanya, keragaman kekayaan alam, lautan dan daratan, pegunungan dan
perbukitan. Semuanya teramat mencengangkan dan mengundang birahi Negara lain
untuk menjamah Indonesia . Apa pun sebenarnya dari negeri ini menebar sejuta
pesona. Tetapi apa yang tersisa? Hampir tidak ada, kecuali warisan utang bagi
anak bangsa dan masa depannya.
Dulu, penjajah fisik berusaha merampok secara halus atau
kasar kekayaan negeri ini. Kini, justru kita yang ‘menyerahkan’ hampir separuh
kekayaan kita. Dan itu terjadi begitu saja, lantaran kebodohan dan keserakahan.
Kebiasaan berhutang tetapi tak memakainya untuk kegiatan produktif menjadi
alasan utama beralihnya asset nasional ke tangan asing. Telinga ini bosan
mendengar bahwa hutang – hutang Negara yang jumlahnya cukup fantastis,
digunakan untuk kepentingan pribadi dan
dibayar melalui uang rakyat. Amboi, nerakalah masa depan bangsa ini.
Kita sering tidak bisa belajar dari sejarah bangsa.
Bagaimana dulu Belanda menjajah negeri ini. Mula – mula ia mengadakan jalinan
dagang, kemudian ia tebarkan kuku – kuku yang menancap kuat dengan memberikan
permodalan dan menguasai sentra-sentra perekonomian negeri. Mereka juga
membangun pos – pos serta diturunkan juga kekuatan Negara mereka. Bukan hanya
tentara yang menjaga kepentingan mereka, tetapi juga lengkap dengan tim medis,
ahli hukum, birokrat, ekonom hingga wanita – wanita penghibur. Ketika bangsa
ini tidak bisa lagi bernafas, barulah mereka menampakan wajah aslinya yang
sebenarnya.
Tetapi kini, ketika alam kemerdekaan dihirup, justru kita
yang memakai pola – pola penjajah. Menjajah bangsa sendiri, menghisap madu
negeri ini dan membiarkannya layu. Berhutang kanan berhutang kiri, meski tidak
punya kemampuan membayar. Atau karena memang tidak mau bayar. Berutang menjadi
lebih wajib ketimbang mengumpulkan modal dari sumber daya alam sendiri.
Indoensia ini aneh, ketika sudah tidak ada yang mengadu
domba, justru kita yang menciptakan perkelahian di antara diri kita sendiri.
Ketika tidak ada yang mengundang permusuhan, kita justru yang menyebarkan
undangan untuk keributan, kericuhan, dan
kerusuhan. Ketika kita dijajah lantaran
kebodohan, kini kita bangkrut juga lantaran kebodohan. Bodoh tidak bisa
memanfaatkan anugrah Tuhan yang begitu luar biasa, bodoh tidak bisa menghargai
segala karunia-Nya. Bersiaplah menghadapi prosesi pemakaman sebuah Negara. Bersiaplah
menghadapi kepunahan negeri ini, kehancuran bangsa ini.
Sejak dulu, bangsa ini sudah sadar akan tidak enaknya
dijajah. Sejak penjajah mulai menancapkan kaki – kakinya di negeri ini, mungkin
pendahulu kita juga sudah sadar akan bahaya yang akan menghadang. Akan tetapi,
kesadaran tersebut tertutup oleh persoalan internal bangsa. Energi habis untuk
mengurusi persoalan sendiri, antar bangsa sendiri. Kira dulu diributkan oleh
pertikaian antar kelompok sendiri. Lalai bangsa ini, kalau justru ada pemangsa
yang sedang menyiapkan kuda – kuda dan menebar jarring untuk memangsa.
Saat itu, bangsa ini menjadi terlambat menyadari. Berapa
waktu yang dibutuhkan untuk mengusir mereka, puluhan bahkan ratusan tahun. Untunglah masih
ada pemikir – pemikir dan pejuang yang murni memperjuangkan kemerdekaan bagi
masyarakat. Untunglah Tuhan masih
berkenan menolong. Kalau tidak, tentu tidak aka nada cerita Indonesia bangkrut
lagi karena tidak pernah merdeka !
Parahnya, setelah kemerdekaan teraih, warisan keburukan
internal itu yang ikut terwariskan, bukan keluhuran budi dan akal para
pendahulu. Sikap egois, saling curiga, tamak, suka mengadu domba dan diadu
domba, mals, bodoh, itu yang diambil sebagai warisan. Bahkan rasanya semua
kekurangan di atas sudah menjadi budaya hingga hari – hari terakhir ini.
Saat ini pun, sebenarnya kesadaran untuk berbenah dan
kesadaran untuk belajar dari kesalahan sudah hinggap kembali di banyak indovidu
bangsa ini. Hanya saja belum menjelma menjadi sebuah kekuatan yang maha dahsyat
untuk segera bisa mengubah peruntungan nasib negeri ini.
Semuanya prihatin, semuanya khawatir, bahwa kita akan
mendapati negeri ini kembali terjajah. Terjajah oleh imperialism modern, bahkan
imperialism yang dilakukan oleh bangsa sendiri. Para pemimpin, para elite
politik saling bertikai, membuat bangsa ini terpecah – belah. Jeratan hutang
sudah membuat negeri ini kehilangan dua pertiga nafasnya. Perusahaan – perusahaan besar berskala
nasional dan menjadi denyut nadi Negara juga pelan – pelan diambil alih oleh
bangsa asing. Negeri ini terpaksa melepas asset – asset nasional dans entra
ekonomi kepada pihak kreditor dan atau terambil alih, atau … punah lantaran
bangkrut total.
Kita sama berharap, semoga kesadaran menyadari hal di atas
cepat membuahkan tindakan positif. Supaya ketika mata ini terbuka, kita belum
menjadi debu. Supaya ketika mata ini terbuka kita masih dapat melihat anak –
anak Indonesia ceria dan mengurai senyum. Ya, samalah berharap agar kita semua
dapat berbenah diri. Siapa pun tentu tidak ingin mendapati negeri ini terjajah
kembali, baik fisik maupun psikis. Keterjajahan akan membuat kebebasan terikat.
Banyak kawan yang protes terhadap pendapat bahwa Negara ini
akan bangkrut. Kata mereka, Negara ini justru sudah bangkrut ! Sudah diajjah !
Nagar ini sudah tergadai, berikut kehormatan, harga diri dan harapan bangsanya.
Dan yang lebih parah lagi, ketika terpuruk, justru ada pohak – pihak yang
mengambil kesempatan dalam kesempitan dana mengambil tindakan penyelamatan
untuk dirinya sendiri saja. Persis seperti ribuan penumpang karam yang berebut
hanya puluhan sekoci.
Meski demikian tetaplah lebih baik optimis terus, bahwa
negeri ini belumlah hancur. Tentu saja sifat optimistic harus dibarengi dengan
pembenahan – pembenahan. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Tidak ada
yang bangkrut kemudian tidak bisa jaya lagi. Sebagaimana sangat mungkinnya yang
jaya pun bisa menjadi hina. Sekali lagi, mari lakukanlah pembenahan dan
pembenahan tidak usah berharap dimulai dari orang lain. Mulai saja dari diri
sendiri dan lingkungan sekitar, pasangan hidup, anak, adik, kakak dan
seterusnya.
Referensi : Buku
Membumikan Rahmat Allah karangan Ust. Yusuf Mansur hal 113- 118