KEMUNAFIKAN ASASI INTERNASIONAL (case Mesir)
Hamid Awaludin |
Salah satu pendekatan yang biasa
dipakai untuk membicarakan masalah hak asasi manusia adalah pendekatan politik,
khususnya politik internasional. Bagaimana Negara, sebagai aktor dalam politik
internasional, menyingkapi atau menjalankan politik luar negeri mereka dalam
kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Sejak meletusnya Perang Dunia I
berakhir, umat manusia kaget dan mulai menyadari betapa dahsyatnnya perang
tersebut. Lalu, Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson mensponsori pembentukan
Liga Bangsa – bangsa untuk mencegah terjadinya lagi perang Dunia II. Wilson
sangat menyakini efeknya lembaga dunia dan hokum internasional yang bisa
mengatur perilaku negara – negara.
Namun malang tak dapat ditolak,
hanya beberapa tahun setelah Perang Dunia I, umat manusia kembali didera oleh
Perang Dunia II yang meletus dan jauh lebih dahsyat disbanding perang Dunia
I. Orang pun kian tak yakin dengan konsep
dan terapi dari aliran Wilsonian yang liberal dan idealis tersebut.
Kemudian munculah aliran realis,
yaitu politik dan hubungan internasional adalah hubungan yang ditentukan oleh
pemeran utama yang bernama Negara. Lembaga Internasional sama sekali tidak
mendapatkan tempat. Maka untuk menjaga dan mencapai target kepentingan
nasional, Negara harus memperkuat dirinya, baik militer maupun ekonomi. Dengan
kekuatan itulah Negara bisa survive dan menjadi pengatur dunia. Dunia ini
bagaikan hidup di tengah hutan belantara (chaos). Maka, Negara – Negara harus
hidup dengan self help system. Inilah perspektif HAM dari kaum realis yang
kebanyakan dianut sejumlah Negara (negara – negara Barat).
Kita acapkali kecewa dengan
standar ganda yang dilakukan oleh sejumlah negara – negara Barat yang mengklaim
sebagai kampium demokrasi dan pelopor penegakan HAM. Kekecewaan kita ini sering
kita reflesikan dengan istilah kemunafikan Barat (hypocricy of the west).
Bila kita runut ke belakang, sejak Perang
Dunia II hingga kini, barulah di era Presiden AS Jummy Carter pada pertengahan
tahun 1970-an, AS menjadikan HAM sebagai dasar dan orientasi utama kebijakan
atau politik luar negerinya. Sebelum dan sesudah Carter, HAM hanyalah sebagai
asesori kebijakan atau politik luar negeri AS. Itu pun dilakukan manakala ada
kaitan dengan kepentingan nasionalnya. Taktala Carter naik ke tampuk kekuasaan
di AS, Negara – Negara komunisme yang dimpimpin Uni Soviet saat itu, emamng
sedang mencapai puncak kediktatoran yang telah melumat HAM warga mereka
sendiri. Dengan kondisi global seperti itu, Carter tampil memikat dunia lain
untuk memerangi komunisme dunia dangan nama kemanusiaan.
Carter tidak terpilih untuk kedua
kalinya dan ia digantikan oleh Ronald Reagan yang menjalankan politik luar
negerinya bukan dengan penekanan nilai – nilai HAM, tetapi pada spek
keperkasaan dan kedigdayaan yang disimbolkan dengan kata war on terror. Simbol dan orientasi inilah yang justru
mengawali dan membuat AS jadi penebar terror yang kaum intelektual AS saat itu,
menyebutnya sebagai state terror. Fokus politik dan kebijakan luar negeri
Reagan ini kemudian disempurnakan oleh Menlu AS, George Shultz dengan simbol
The evil scourage of terrorism.
Berbagai kasus di bernagai
belahan dunia yang berkaitan dengan pelanggaran HAM, terjadi begitu sistematis
tetapi respon Negara – Negara Barat dapat dinilai berstandar ganda. Untuk
belahan dunia lain mereka keras, semenatara yang lainnya amat lunak, bahkan
menutup mata. Posisi seperti inilah yang menjadi sandungan utama dalam
penegakan HAM.
Kita menyaksikan kasus teranyar
dalam konteks ini adalah Mesir. Selama tiga dekade pemerintahan Hosni Mubarak,
AS sama sekali tidak pernah terusik untuk menyoal praktik HAM di Mesir karena
rezim pemerintahn Mesir di bawah Mubarak secara politik amat menguntungkan AS.
Negeri Paman sam pun tak segan – segan mengalirkan bantuan sebesar 1,8 miliar
dollar As tiap tahun ke negeri itu.
Dalam berbagai laporan, Mesir
dibawah pemerintahan Mubarak adalah Mesir yang sarat kabut pelanggaran HAM. Tak ada oposisi, semua
pemimpin partai dan tokoh yang menantang Mubarak, dengan gampang dipenjarakan
dan disiksa. Demokrasi hanyalah jadi agenda rutinitas yang hampa dengan muatan
representasi suara rakyat. Mubarak pun melenggang tanpa rintangan selama tiga dekade.
As dan sekutu – sekutu Baratnya
memiliki kepentingan untuk memelihara Mubarak karena dia dianggap bisa melawan
gerakan – gerakan Islam di negeri itu. Malah, Mubarak dinilai bisa menjadi
rekan abadi untuk menyelesaikan masalah Palestina.
Faktanya memang, Omar Soleman,
Kepala Intelijen Mesir di bawah Mubarak, dididik khusus oleh AS pada tahun 1980
di John F. kennedy Special Warfare School and center di Fort Bragg, North
Caroline. Omar Soleman dilaporkan terlibat program “penyerahan diri luar biasa”
yang melibatkan CIA pada era era Presiden George W Bush. Program ini membuat
sejumlah tersangka teroris yang ditangani oleh AS, dikirim ke berbagai Negara,
termasuk ke Mesir, tanpa proses hukum dan mengalami interogerasi kasar.
Terlepas dari itu semua, persepsi
dunia jelas mengatakan bahwa dalam praktik HAM, AS dan Negara – Negara Barat
lainnya, acapkali menggunakan standard ganda. Selam kepentingan nasional mereka
terpenuhi, mereka tidak peduli apakah ada pelanggaran HAM atau tidak. Bagi yang jeli melihat praktik politik
internasioanl Negara – Negara Barat dalam kaitan HAM dan demokrasi, tentu saja
kita amat terusik.