Al Quwwah


Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyyah di dalam buku as-Siyasah sah-Syar’iyyah fi Islah ar-Ra’iyyah mengatakan bahwa al-Quwwah adalah kekuatan, kemampuan, kemahiran menjalankan tugas. Ciri-ciri al-Quwwah atau kemampuan dalam bidang yang diberikan, misalnya: jika jabatan yang diberikan berkaitan dengan ekonomi, konsep al-quwwah merujuk kepada kemahirannya dalam mengendalikan ekonomi. Jika berhubungan dengan kehakiman maka al-quwwah merujuk kepada pengetahuan dalam persoalan hukum. Demikian juga bidang kemiliteran mampu menjawab persoalan kepiawaian dalam strategi perang semangat juang dan keberanian yang lekat dengan dirinya.

Buah yang pasti dirasakan oleh mu’min yang bertawakkal adalah kekuatan mental yang membaja terutama ketika tengah menghadapi tantangan yang amat berat.
“Siapa yang ingin bahagia menjadi orang yang paling kuat hendaklah ia bertawakkal kepada Allah.”

Hal ini juga dapat kita lihat dari sikap para nabi, diantaranya adalah Nabi Nuh as ketika menghadapi ancaman kaumnya:
“Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya).” (Yunus (10): 71-72).

Nabi Hud as:
“Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.” Huud menjawab: “Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.” (Hud (11): 54-56).

Nabi Syuaib as:
“Pemuka-pemuka dari kaum Syu’aib yang menyombongkan diri berkata: “Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, atau kamu kembali kepada agama kami”. berkata Syu’aib: “Dan Apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun Kami tidak menyukainya?” Sungguh kami mengada-adakan kebohongan yang benar terhadap Allah, jika kami kembali kepada agamamu, sesudah Allah melepaskan Kami dari padanya. Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Tuhan kami menghendaki(nya). Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakkal. Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.” (Al-A’raf (7): 88-89).

Lebih agung lagi adalah kekuatan Rasulullah saw tatkala beliau menggali khandak di tengah kepungan pasukan sekutu. Betapa tidak, saat itu Rasulullah saw menjanjikan para sahabatnya dengan penaklukan Yaman, Kisra dan Kaisar. Kekuatan jiwa yang membuat orang-orang munafik menuduh Rasulullah dan para sahabat ngawur dan ghurur:
“Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata:”Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.” (Al-Ahzab (33): 12).

Ada juga wasiat imam Ibnul Qayyim yang menyatakan bahwa seseorang yang hendak berjalan menuju Allah Swt membutuhkan dua kemampuan (Quwwah) agar mampu menapaki jalan yang penuh tipuan, yaitu: Quwwah IImiyyah dan Quwwah Amaliyah. Quwwah Ilmiyyah adalah bekal ilmu yang memadai. Sedangkan Quwwah Amaliyah (bekal amal) adalah amal ibadah sehingga benar-benar berjalan menuju-Nya. “Al-Ilmu bilâ amalin kas Sahmi bilâ watarin”. Ilmu tanpa amal bagai anak panah tanpa tali busur. Anak panah tidak akan pernah sampai menuju sasaran.
Dari dua bekal di atas, sebagaian manusia ada yang hanya mementingkan Quwwah Ilmiyah saja. Waktunya hanya dihabiskan untuk mencari ilmu, namun ia kurang memberi porsi yang cukup bagi Quwwah Amaliyah-nya. Ilmunya banyak tapi hatinya kerontang.

Sebagaian yang lain ada juga yang hanya mementingkan Quwwah Amaliyah dan meninggalkan Quwwah Ilmiyah. Hal ini terlihat pada sekelompok kaum sufi awam yang hanya ber-mujahadah sekuat tenaga tanpa ilmu. Mereka terkadang cenderung menyepelekan ilmu syariat yang merupakan ajaran dari Al-Quran dan Sunnah itu sendiri, lantaran menunggu-nunggu ilmu laduni. Ketika dalam ritual-ritual yang seringkali banyak bertentangan dengan syariat, mereka mendapat pengalaman-pengalaman yang terkesan menakjubkan, serta-merta mereka mengklaim bahwa itu adalah ilmu laduni. Padahal siapa yang memastikan demikian. Bisa jadi pengalaman itu hanyalah tipuan setan belaka, apalagi jika pengalaman itu benar-benar bertentangan dengan ilmu syariat. Bukankah berbuat tanpa ilmu sama dengan menjerumuskan diri kepada kehancuran. Mirip orang buta yang tidak mengerti bagaimana mengendalikan pesawat kemudian disuruh melakukannya. bukankah hal ini sama dengan bunuh diri.

Ada sekelompok manusia memiliki keseimbangan dan keistiqamahan dalam membekali diri dengan kedua bekal di atas. Mereka mencari dengan sungguh-sungguh bekal ilmu selama hayat dikandung badan. Mereka juga adalah orang terdepan dalam hal membekali diri dengan amal shalih.

Selain Ibnu Qayyim, ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa ada empat macam Quwwah (kemampuan) yang harus dimiliki seorang hamba yaitu Quwwah Maaliyyah, Quwwah Jasadiyyah, Quwwah Ruuhiyyah, dan Quwwah Ilmiyyah.

Dari beberapa sumber