Swastanisasi Sektor Publik di Jakarta, Mohon Pikir Lagi Deh !
Mulai tahun ini (2015), Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI
Jakarta akan menyerahkan pembangunan dan pengelolaan Gelanggang Olah Raga (GOR),
halte, dan Lapangan Banteng kepada pihak swasta. Dinas Olah Raga dan Pemuda (Disorda)
DKI Jakarta, juga akan akan membangun sebanyak enam GOR pada tahun 2015. Namun, pembangunan tersebut
akan dilakukan oleh pihak swasta. Kalau pengelolaan GOR diserahkan kepada pihak
swasta, ini tentu akan sangat memberatkan masyarakat.
Pengertian sederhana dari ruang publik atau yang sering
dikenal dengan public space, merupakan sebuah tempat yang dapat digunakan oleh
masyarakat luas dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Ruang publik atau ruang
terbuka yang dapat diakses oleh masyarakat tanpa mengeluarkan biaya (Radjawali,2004).
Permasalahan yang sering terjadi di kota-kota besar di
Indonesia adalah minimnya ruang publik bagi warganya. Bagi penguasa dan
pemegang modal, ruang publik dianggap sebagai ruang yang tidak menarik karena
mempunyai nilai ekonomi yang rendah, akibatnya beberapa ruang publik yang pada
awalnya tersedia kemudian menjadi hilang berubah bentuk menjadi ruang yang bernilai
ekonomi tinggi. Bahkan beberapa ruang publik yang seharusnya dapat diakses oleh
setiap warga kapanpun, kini diberi pembatasan oleh penguasa. Padahal desain
kota dengan penyediaan ruang publik yang cukup bagi warganya merupakan sebuah
keharusan.
Ruang publik juga menjadi penting dalam hal membuat
kota-kota modern semakin hidup dan berkembang sesuai dengan potensi yang ada
karena berkumpulnya warga dari berbagai latar belakang dan minat yang berbeda.
Di ruang publiklah warga dapat bertemu dan saling berinteraksi dengan yang
lainnya. Adalah penting bahwa tempat-tempat seperti itu dibuat secara terbuka
dan dapat diakses oleh siapapun sehingga warga dapat memilih untuk
bersosialisasi menurut waktu luang mereka masing-masing. Seseorang dapat
mengaktualisasikan dirinya secara penuh di ruang publik, karena kalau di rumah
atau tempat kerja, peran-peran sosial dan hirarki tersebut cenderung dibatasi.
Privatisasi ruang publik dan dibatasinya secara ketat
penggunaan ruang-ruang terbuka kota adalah masalah. Ruang terbuka kota
sebenarnya menjadi hak publik untuk bersosialisasi, berinteraksi dan
berdemokrasi, adalah pola pikir feodal dari pihak penguasa dalam memandang
ruang kota sebagai aset kekuasaan. Bagi mereka, cara pandang ekonomi ruang
publik itu lebih penting daripada upaya memberdayakan tempat-tempat terbuka
umum sebagai tempat interaksi social dan kegiatan berdemokrasi warganya.
Privatisasi ruang pulbik yang terjadi di kota-kota besar
di Indonesia kerap kali menimbulkan permasalahan sosial yang sangat kompleks. Privatisasi
ruang publik menurut Santoso (2006) akan menimbulkan dampak meningkatnya segregasi
sosial, isu keamanan, terbentuknya kelompok eksklusif dan berbagai masalah
sosial. Sehingga maraknya geng motor dan tawuran pelajar dapat dikaitkan dengan
terbatasnya ruang ruang terbuka yang menjadi sarana publik bagi para pemuda
untuk menyalurkan hobinya dan membantunya untuk penyaluran agresivitas akibat
tekanan sosial di tengah masyarakat.
Kondisi-kondisi fisik kota yang banyak dihiasi bangunan-bangunan
beton adalah sesuatu yang menyesakkan. Segregasi
sosial saat ini banyak disumbangkan oleh pembangunan pusat-pusat perbelanjaan. Kehadiran mal dan bisnis waralaba di
Indonesia memberikan dimensi positif karena membuka lapangan kerja baru, tetapi
juga memberikan dimensi negatif yang mempertajam segregasi sosial (Halim,
2008). Hasil studi menunjukkan bahwa pasar modern di Indonesia tumbuh 31,4% per
tahun, sedangkan pasar tradisional menyusut 8% per tahun, artinya semakin
berkurang fasilitas interaksi warga.
Meskipun privatisasi ruang publik berbasis pada faktor
ekonomi, namun permasalahan yang ditimbulkannya lebih banyak berdimensi sosial
seperti misalnya konflik pemanfaatan ruang. Ruang kota bukanlah rongga tiga
dimensi geometri yang dapat diterjemahkan begitu saja dalam bentuk peta-peta.
Dinamika kota harus dilihat melalui apa yang disebut Lefebvre (1991) sebagai
ruang sosial, yaitu ruang sebagai produk sosial dengan berbagai macam aktifitas
orang di dalamnya. Berdasarkan penjelasan Lefebvre, dikatakan bahwa ruang kota
adalah ruang publik apabila ruang kota tersebut memproduksi ruang sosial ketika
orang-orang beraktifitas didalamnya.
Oleh karenanya, berbicara mengenai kepemilikan ruang
publik, sebagian para ahli beranggapan bahwa ruang publik seharusnya dikuasai
oleh pemerintah. Hal itu bertujuan untuk menghindari penyalahgunaan fungsi oleh
pihak swasta yang cenderung digunakan sebagai ruang komersial. Dengan tetap
dimanajemani pemerintah, ruang publik tersebut dapat memberikan pelayanan yang
optimal kepada masyarakat tanpa harus mengeluarkan biaya. Ruang terbuka publik
mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakat kota. Ruang kota ini mudah
dijangkau oleh umum, baik secara visual maupun secara fisik.
Menurut Purwanto (2008), beberapa aspek-aspek yang harus
dipahami untuk dapat menjelaskan ruang publik. Pertama, ruang publik adalah sebagai wahana interaksi antar komunitas
untuk berbagai tujuan, baik individu maupun kelompok. Dalam hal ini ruang publik
merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat yang keberadaannya tidak dapat
dilepaskan dari dinamika sosial. Disamping itu, ruang publik juga berfungsi
memberikan nilai tambah bagilingkungan, misalnya segi estetika kota, pengendalian
pencemaran udara, pengendalian iklim mikro, serta memberikan “image” dari suatu
kota. Kedua adalah aspek aksesibel
tanpa terkecuali (accessible for all) dimaksudkan bahwa ruang publik seyogyanya
dapat dimanfaatkan oleh seluruh warga kota yang membutuhkan. Ketiga adalah universalitas dimaksudkan
bahwa penyediaan ruang publik seyogyanya dapat mempertimbangkan berbagai kelas
dan status kebutuhan masyarakat yang mencerminkan pemenuhan kebutuhan seluruh
lapisan masyarakat baik kelas atas sampai bawah, dari yang normal sampai difabel,
dari anak-anak sampai dewasa dan pria atau wanita. Lebih jauh, ruang publik
merupakan sarana kekuatan relasi sosial masyarakat yang karakternya dapat
dilihat seperti mengizinkan berbagai kumpulan/grup penduduk berada di dalamnya,
serta menghargai kelas-kelas masyarakat, perbedaan etnis, jender, dan perbedaan
umur. Keempat, ruang publik disebut
bermakna bila ada kepublikan atau publicness. Kepublikan itu mensyaratkan
adanya tingkat kolektivitas tertentu. Di dalam ruang publik berbicara tentang sosial
intercourse atau pergaulan sosial antar manusia dalam sistem produksi.