Mencari Solusi Permasalahan Konflik Gojek dan Ojek Pangkalan di Jakarta




Kemacetan Jakarta membuat pangsa pasar ojek berkembang besar. Meski tarifnya kerap tak menentu, banyak warga Jakarta dan sekitarnya mengandalkan ojek sebagai moda transportasi sehari-hari.

Ojek pangkalan adalah sebuah komunitas, sebuah paguyuban para tukang – tukang ojek. Di sana ada aturan -  aturan tak tertulis yang berlaku, seperti ada antrian, ada bagi-bagi rejeki dan ada pelanggan-pelanggan lokal.  Keributan seringkali terjadi ketika ada tukang ojek dadakan yang merebut penumpang tanpa mau antri atau bergabung dengan pangkalan tersebut.

Tahun 2011, GoJek hadir di Indonesia sebagai social enterpreneurship inovatif untuk mendorong perubahan sektor transportasi informal agar dapat beroperasi secara profesional. Manajemen GoJek menerapkan sistem bagi hasil dengan pengemudi ojek yang berada di bawah naungannya. Pembagiannya adalah, 80% penghasilan untuk pengemudi ojek dan 20%-nya untuk GoJek. Saat ini anggotanya sudah mencapai angka sekitar 1000-an. GoJek menawarkan 4 (empat) jasa layanan yang bisa dimanfaatkan oleh para pelanggannya: Instant Courier (Pengantaran Barang), Transport (Jasa Angkutan), Shopping (Belanja) dan Corporate (Kerjasama dengan perusahaan untuk jasa kurir) yang menekankan keunggulan dalam Kecepatan, Inovasi dan Interaksi Sosial. Para pengguna Gojek, harus mengunduh GoJek Mobile App dari handphone mereka, baru mereka bisa memesan layanan Gojek. Para Gojek dengan mudah mendapatkan konsumen karena sudah mengandalkan kemajuan teknologi, tanpa harus nongkrong menunggu tanpa kepastian menunggu nomor urut antrian jatah narik.

GoJek kemudian merebak menjadi salah satu kata atau topik yang bermunculan di berbagai media. Namun bukannya pembahasan mengenai keunggulan dari layanan ojek unik ini. Tetapi, yang lebih mengemuka saat ini adalah adanya konflik antara pengemudi yang bergabung dengan GoJek dengan tukang ojek pangkalan. Keberadaan layanan GoJek di Ibu Kota Jakarta mulai memicu konflik. Pelan tapi pasti, suara penolakan terhadap Gojek mulai mengalir dari para pengemudi ojek pangkalan. Mereka menganggap eksistensi Gojek mengganggu keberadaan mereka dan membuat mereka merugi. Tukang-tukang ojek yang biasa mangkal di Ibu Kota Jakarta, mulai resah dengan banyaknya pengemudi GoJek yang seliweran di jalan-jalan Ibu Kota.  Persaingan antara pengemudi Gojek dengan pengemudi ojek pangkalan memang tidak dapat dihindari. Kapolda Metro Jaya juga melihat, pro kontra yang terjadi di antara tukang ojek pangkalan dan Gojek lebih diakibatkan oleh masalah persaingan. Ojek pangkalan merasa tersaingi oleh eksistensi Gojek.

Padahal General Manager of Corporate Relations Gojek, Sam Diah sudah menyatakan bahwa pihaknya hadir untuk membantu pengemudi ojek pangkalan, dan bukan sebaliknya bersaing dengan mereka.  "Yang paling utama kami sampaikan adalah kami bukan hadir untuk berkompetisi dengan pengemudi ojek pangkalan," kata Sam Diah. Bentuk bantuan yang diberikan Gojek kepada para pengojek menurutnya adalah dengan meningkatkan penghasilan mereka dengan bantuan teknologi. Tak hanya itu, para pengojek ini juga mendapat santunan kecelakaan dan jaminan asuransi kesehatan.  Sampai saat ini, kata Sam Diah, Gojek masih membuka kesempatan bagi pengemudi ojek pangkalan untuk bergabung.

Sampai sat ini, masih belum ada solusi atas konflik antara tukang ojek pangkalan dengan Gojek. Perintah Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito Karnavian untuk memberikan perhatian berlebih soal keamanan para pengendara Gojek dinilai belum jadi solusi permanen.  Jika penerapan kebijakan tersebut di lapangan justru membuat tukang ojek pangkalan merasa didiskriminasikan, maka solusi akan lebih sulit dicapai. Pemberian rasa aman bagi Gojek, sebenarnya bisa dilakukan dengan penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan.

Yang lebih dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik antara Gojek dengan para ojek pangkalan adalah aturan yang jelas. Sejauh ini, belum ada aturan yang jelas soal Gojek ataupun Ojek Pangkalan. Sementara aturan legal belum ada, Kapolda bisa mendorong adanya kesepakatan bersama antara Gojek dengan para tukang ojek pangkalan yang tidak merugikan salah satunya.  Misalnya Gojek tidak boleh masuk komplek atau perumahan yang kecil. Biarkan itu menjadi area para ojek pangkalan. Sementara Gojek hanya untuk perjalanan dengan daerah yang lebih jauh. Atau kesepakatan lainnya yang penting tidak ada yang dirugikan.   Tanpa adanya kesepakatan, yang akan dirugikan bukan hanya Gojek dan ojek pangkalan saja, tetapi warga juga. Prinsipnya, dalam menyelesaikan konflik Gojek dengan ojek pangkalan ini, harus tidak ada diskriminasi.

Harus ditempuh cara – cara yang mengedepankan dialog, seperti apa yang dikatakan oleh Vice President of Marketing dari Gojek, Pingkan Irawan. “Kami akan selalu terbuka untuk berdialog. Sejauh ini juga kan kita sudah bertemu dengan pemerintah dan diskusi. Kami tetap akan selalu terbuka yang jelas,” ujarnya. Associate lembaga pemodal MDI Venture Joshua Agusta mengatakan bahwa bisnis yang inovatif seperti Go-jek harus melibatkan komunikator yang handal. “Tukang ojek kan umumnya tidak akrab dengan teknologi, tentu ada resistensi,” kata Joshua. “Secara umum juga ketika model bisnis kita men-disrupt sistem yang sudah ada, risiko konflik tidak bisa dihindari.  Seperti halnya yang terjadi di luar negeri, saat kehadiran layanan Taksi Uber, itu juga menimbulkan konflik dengan para pengemudi taksi yang merasa kehadiran armada uber akan mengurangi pangsa pasar mereka. Uber saat itu sampai meng-hire David Plouffe, mantan tim kampanye Obama sebagai tim komunikasi mereka. CEO Gojek, Nadiem juga mengakui bahwa gesekan dengan tukang ojek konvensional adalah karena miskomunikasi. 


Permasalahan Gojek vs Ojek Pangkalan ini, di masa silam juga pernah terjadi di moda transportasi lain yakni taksi. Di Bandung, saat taksi Blue Bird mulai boleh masuk, supir-supir taksi lokal yang kadang memakai argo kuda kemudian melakukan perlawanan yang mengerikan, taksi Blue Bird dibakar.  Namun kemudian taksi argo kuda di Bandung mulai berbenah diri dari kekerasan yang mereka pernah buat. Mereka mulai disiplin dengan argometernya, disiplin berkendara dan bahkan berseragam.  Dan sekarang banyak orang mengatakan bahwa naik taksi merek apapaun di Bandung lebih aman daripada di Jakarta. Mereka tidak ada yang bergabung dengan Blue Bird, tetapi mereka membenahi sistem mereka menjadi lebih baik.