MENUJU JAKARTA SEBAGAI KOTA KESEJAHTERAAN YANG BERKELANJUTAN (JAKARTA WELFARE AND SUSTAINABLE CITY)

Oleh: Ahmad Sahal (Caleg No.15 DPRD DKI dari PKS, mantan Ketua DPC PKS Pancoran)

Ada dua kata yang menjadi perhatian dan cita-cita kita bersama dalam kalimat judul di atas yaitu kesejahteraan(welfare) dan berkelanjutan (sustainable). Jakarta sebagai kota kesejahteraan mensyaratkan adanya perlindungan dan jaminan kesejahteraan bagi setiap warganya, minimal dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, kesehatan dan pendidikan. Contoh-contoh dalam sejarah Islam menunjukkan bahwa Islam telah memulai melaksanakan konsep welfare city seribu tahun lebih awal dari pelaksanaan welfare state di Negara-negara barat. Dalam era khalifah Umar bin Khatab, Negara memberikan uang sejumlah 200 dinar bagi setiap bayi yang lahir dan senantiasa bertambah pada tahun-tahun berikutnya sampai bayi tersebut mencapai usia akil baligh. Umar juga telah meletakkan dasar-dasar konsep jaring pengaman sosial ketika menanggung nafkah bahan pokok bagi warga miskin, dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Umar memanggul sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada warga miskin yang bersumber dari baitul maal Negara. Berkelanjutan mensyaratkan adanya konsistensi pelaksanaan Jakarta sebagai welfare-city yang menjadi komitmen semua stake holder Jakarta, tidak peduli siapapun gubernurnya dan siapapun anggota DPRD nya. Komitmen untuk menjadikan Jakarta yang memberikan jaminan kesejahteraan bagi warganya harus terwujud dalam kontrak politik yang jelas, misalnya tercantum dalam undang-undang atau perda yang mengikat semua pihak. Ini penting supaya Jakarta sebagai welfare-city menjadi program yang berkelanjutan dan bukan menjadi program kampaye calon gubernur tertentu atau partai tertentu.
Apa bentuk konkrit dari Jakarta sebagai welfare-city itu? Bila kita mengambil contoh dari Negara- Negara di Eropa atau Amerika Serikat, konsep welfare-state dilaksanakan dengan memberikan jaminan sosial bagi setiap penduduknya, seperti pendidikan gratis, asuransi kesehatan, sampai dengan subsidi untuk membeli sembako bagi warga yang jobless atau tergolong miskin dengan dana yang bersumber dari pembayar pajak seperti di AS atau dikombinasikan dengan kontribusi dari pihak swasta atau warga yang mampu seperti di Jerman. Mungkinkah itu diterapkan pada Jakarta sementara Indonesia sendiri sebagai Negara belum secara penuh menerima dan melaksanakan konsep welfare-state? Jawabannya sangat mungkin. Dari aspek legal formal UU Sistem Jaminan Sosial Nasional mendukung penerapan bagi pemerintah provinsi yang ingin mewujudkan komitmen jaminan kesejahteraan bagi warganya. Dari aspek daya dukung financial, dengan APBD DKI Jakarta sebesar 22,9 triliun untuk tahun 2009 sebenarnya sangat mungkin bagi Jakarta untuk menjadi welfare-city, minimal untuk menjamin kesejahteraan bagi dua jenis kebutuhan dasar warga yaitu kesehatan dan pendidikan. Bila pemerintah mampu menjamin dua kebutuhan ini, niscaya kesejahteraan warga akan sangat meningkat dan secara otomatis akan menjadikan SDM Jakarta sebagai SDM yang berkualitas, yaitu sehat dan cerdas. Pemprov DKI Jakarta seharusnya mampu mengasuransikan seluruh warga Jakarta dengan asuransi jiwa dan kesehatan, paling tidak sama dengan standar ASKES bagi pegawai negeri sipil. Sementara untuk jaminan pendidikan, Pemprov seharusnya mampu memberikan pendidikan gratis- seperti yang sekarang telah berlaku untuk tingkat SD dan SMP-sampai tingkat SMA, termasuk untuk Madrasah swasta. Tidak hanya mengratiskan biaya pendidikan dan kesehatan, namun juga memfasilitasi infrastrukturnya dengan kualitas memadai, seperti gedung sekolah dan unit pelayanan kesehatan (rumah sakit dan puskesmas) yang representatif.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana kita bisa menuju ke sana? Jalan menuju Jakarta sebagai welfare-city bukanlah suatu utopia meskipun tidak dapat dikatakan mudah. Beberapa poin di bawah ini diharapkan dapat menjadi terobosan untuk menuju Jakarta sebagi welfare city:
1.Menegaskan komitmen jaminan kesejahteraan dalam bentuk komitmen konstitusional yaitu harus dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah atau Undang-Undang
2. Mendesakkan agenda kebijakan penghematan APBD (Nurhadi, 2008) antara lain:
(i) penciptaan mekanisme anggaran yang dapat menjamin bahwa pengeluaran-pengeluaran pemerintah berada pada tingkat yang wajar; (ii) menghapus kegiatan-kegiatan pejabat publik yang tidak bermanfaat bagi rakyat miskin seperti studi banding dan penelitian yang tidak jelas tujuannya; dan (iii) menghapus duplikasi kegiatan yang dilakukan oleh berbagai instansi. Sementara itu, kebijakan penghapusan korupsi dalam APBD meliputi tindak lanjut yang tegas dan memadai atas hasil audit terhadap APBD dan penegakan hukum tanpa pandang bulu atas setiap penyalahgunaan dana APBD.
3. Menggalang partisipasi masyarakat misalnya dunia usaha untuk turut berpartisipasi dalam mendanai jaminan kesejahteraan bagi warga kurang mampu. Namun hal ini mustahil dapat dilakukan sebelum pemerintah daerah mampu membuktikan diri sebagai administrator yang bersih, peduli dan profesional. Bila pemda sudah terbukti mampu mengelola APBD dengan baik dan tepat sasaran seperti tersebut dalam poin 2 di atas, niscaya masayarakat akan berbondong-bondong mendonasikan dana atau bentuk-bentuk kontribusi lainnya kepada pemrintah.

Konsep welfare-city memang sangat ideal dan sejatinya adalah cita-cita Islam yang Rahmatan lil Alamin. Adalah menjadi tanggung jawab PKS sebagai partai dakwah untuk menjadi pengemban pertama dan motor utama dari cita-cita mulia ini. Semoga kemenangan dakwah bisa dimulai dari Jakarta seperti praktik yang terjadi di Turki, sehingga From Istanbul to Turkey akhirnya juga menjadi From Jakarta to Indonesia. Allahu Akbar!!!