Oleh: Fitra Arsil
Caleg DPR RI dari PKS No. 4 dari Dapil II Jakarta (Jakpus, Jaksel dan Luar Negeri)
Ketika Indonesia sudah memperingati 63 tahun kemerdekaannya, Indonesia berhadapan dengan sebuah peristiwa yang memaksa pemerintah Indonesia memberikan perhatian besar kepadanya. Peristiwa tersebut justru bertolak belakang dengan apa yang telah diperingati di Indonesia yaitu pelecehan dan penghinaan terhadap kedaulatan dan kemerdekaan suatu negara serta hancurnya hak hidup manusia yang terjadi di Palestina (Gaza).
Israel telah memperluas pertumpahan darah yang selama ini sudah banyak terjadi dengan mengulangi ekspansinya ke Gaza Palestina. Ironisnya, sekali lagi, dunia menyaksikan tidak ada yang dapat diperbuat oleh PBB, sebuah organisasi yang ingin selalu disebut sebagai penjaga perdamaian dunia. Fenomena ini seakan ingin membuktikan bahwa PBB bukanlah tempat yang tepat untuk berperan melindungi kedaulatan negara-negara muslim, khususnya di wilayah Timur Tengah. Kasus Gaza ini menambah panjang daftar kasus dimana minimnya peran PBB dalam melindungi kedaulatan negara-negara muslim setelah Palestina, Irak dan Iran yang nampaknya juga sedang mengalami proses sama.
Kontribusi Heroik Negara-Negara Arab
Sebagai sebuah negara yang pernah mengalami penjajahan serta penindasan dan kemudian dapat membebaskan diri, Indonesia mempunyai kewajiban besar untuk menunjukkan peranannya dalam persoalan penghinaan kedaulatan negara-negara muslim ini. Apalagi, jika diperiksa, ternyata perjuangan kemerdekaan Indonesia banyak mendapat bantuan signifikan dari negara-negara Muslim, khususnya negara-negara Arab.
Pengakuan kedaulatan Indonesia pertama kali bukanlah dilakukan oleh negara-negara Barat, apalagi Amerika Serikat yang sering mengklaim dirinya sebagai promotor kebebasan dan jaminan hak asasi manusia. Pengakuan kemedekaan Indonesia justru diawali oleh negara-negara muslim yang baru berkembang demokrasinya. Pengakuan kedaulatan Indonesia diawali dari pengakuan Mesir dan kemudian diikuti oleh Syria, Iraq, Lebanon, Yaman, Saudi Arabia dan Afghanistan. Liga Arab kala itu melalui sekjennya yang juga pemimpin Mesir Abdurrahman Azzam Pasha bahkan membentuk sebuah komite khusus yang beranggotakan tokoh-tokoh berpengaruh di kawasan Arab termasuk di dalamnya mufti besar Palestina Sayyid Amen Al Husaini. Komite ini menganjurkan kepada semua negara anggota Liga Arab (Arab League) supaya mengakui Indonesia sebagai Negara merdeka yang berdaulat
Pengakuan negara-negara Arab ini ternyata juga diwarnai dengan beberapa peristiwa heroik yang menunjukkan keseriusan negara-negara Arab dalam membantu Indonesia . Pemerintah Mesir, misalnya, merasa perlu untuk mengirim langsung konsul Jenderalnya di Bombay yang bernama Mohammad Abdul Mun’im ke Yogyakarta (waktu itu ibukota RI) dengan menembus blokade Belanda untuk menyampaikan dokumen resmi pengakuan Mesir kepada Negara Republik Indonesia. Abdul Mun’im juga menyampaikan dukungan Liga Arab yang merupakan keputusan sidang Dewan Liga Arab tanggal 18 November 1946 yang antara lain berisikan bahwa dukungan Liga Arab kepada Indonesia merdeka didasarkan pada ikatan keagamaan, persaudaraan serta kekeluargaan. Presiden Sukarno ketika itu menjawab dukungan Liga Arab tersebut dengan mengatakan bahwa antara negara-negara Arab dan Indonesia sudah lama terjalin hubungan yang kekal “karena di antara kita timbal balik terdapat pertalian agama”
Pengakuan dari Mesir kemudian juga diperkuat dengan ditandatanganinya Perjanjian Persahabatan Indonesia – Mesir di Kairo. Pemerintah Mesir mengundang delegasi Indonesia untuk hadir ke Mesir untuk memperkuat perjuangan diplomasi di Timur Tengah dan menandatangani perjanjian. Situasi menjelang penandatanganan perjanjian tersebut bisa dibilang cukup mendebarkan karena duta besar Belanda di Mesir ”menyerbu’ masuk ke ruang kerja Perdana Menteri Mesir Nokrasi Pasha untuk mengajukan protes sebelum ditandatanganinya perjanjian tersebut. Duta besar Belanda bahkan mengingatkan Mesir tentang hubungan ekonomi Mesir dan Belanda serta janji dukungan Belanda terhadap Mesir dalam masalah Palestina di PBB. Namun Nokrasi Pasha menjawab dengan berani ancaman Belanda dengan mengatakan ”menyesal kami harus menolak protes Tuan, sebab Mesir selaku negara berdaulat dan sebagai negara yang berdasarkan Islam tidak bisa tidak mendukung perjuangan bangsa Indonesia yang beragama Islam. Ini adalah tradisi bangsa Mesir dan tidak dapat diabaikan.” Sebelumnya di Istana Qasr Abidin, Raja Farouk juga menyampaikan alasan dukungan Mesir dan Liga Arsb kepada Indonesia dengan mengatakan ”karena persaudaran Islamlah, terutama, kami membantu dan mendorong Liga Arab untuk mendukung perjuangan bangsa Indonesia dan mengakui kedaulatan negara itu”
Akibat dari adanya pengakuan ini telah memuluskan perjuangan Indonesia selanjutnya, khususnya di dunia internasional dan meyulitkan posisi Belanda karena negara itu selalu mempropagandakan kepada dunia internasional bahwa perselisihan Indonesia-Belanda adalah “masalah dalam negeri Belanda” Dengan demikian, pihak-pihak lain termasuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menurut pemerintah Belanda tidak boleh campur tangan dalam perselisihan itu.
Penting juga dicatat bahwa pengakuan dari negara-negara muslim tersebut datang pada saat-saat yang genting karena Belanda dan sekutu-sekutunya sedang melakukan serangan besar-besaran untuk kembali menguasai Indonesia. Menariknya, Setiap aksi Belanda di tanah air kita yang mengancam kemerdekaan Indonesia disambut dengan demonstrasi-demonstrasi anti Belanda di negara-negara Timur Tengah, seperti yang kini banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam di tanah air dalam merespon setiap kondisi di Timur Tengah.
Selain soal pengakuan, terdapat pula bantuan konkret yang dilakukan tokoh Muslim di India dalam rangka mendukung Indonesia mempertahankan kemerdekaannya. Pada tanggal 8 November 1945, Masyumi, partai yang waktu itu merupakan wadah berhimpun seluruh aspirasi politik umat Islam di Indonesa, menghubungi Muhammad Ali Jinnah (tokoh Muslim India yang kelak mendirikan negara Pakistan) dan Pandit Javahar Lal Nehru, meminta intervensi mereka dalam keterlibatan tentara Inggris asal India dalam pasukan sekutu yang terlibat dalam konflik dengan pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia. Ali Jinnah ternyata menjawab permintaan itu dengan segera. Pada 11 November 1945 melalui pidato dari radio Delhi, Jinnah menginstruksikan agar tentara India Muslim tidak ikut bertempur melawan pejuang Indonesia. Akibatnya, empat hari kemudian, 400 orang tentara India Muslim melakukan disersi. Di Surabaya disersi itu melibatkan Kapten Mohammad Zia Ul-Haqq yang belakangan menjadi Presiden Pakistan. Pada 8 November itu juga Masyumi menghubungi Raja Ibnu Suud dan memohon agar beliau memaklumkan kemerdekaan Indonesia kepada jama’ah haji yang sedang wuquf di Padang Arafah dan meminta agar jama’ah haji mendoakan perjuangan bangsa Indonesia.
Urgensi Solidaritas
Terjadinya peristiwa-peristiwa heroik seperti yang disebut di atas ternyata memiliki motif yang sama yaitu motif solidaritas sesama negara muslim. Dalam kondisi sekarang ini motif yang sama seharusnya juga menjadi faktor penting dalam kebijakan Indonesia menghadapi situasi di Gaza - Palestina. Negara-negara Timur Tengah pernah menunjukkan diri sebagai ‘sekutu’ Indonesia dalam perjuangannya sehingga balasan serupa wajar diterima oleh sesama ‘sekutu’. Artinya, khusus Indonesia, membantu negara-negara di Timur Tengah bukan lagi hanya karena faktor kemanusian, keadilan, komitmen kebebasan tetapi lebih dari itu karena Indonesia juga merupakan negara muslim dan mendapatkan kedaulatannya dengan bantuan negara-negara muslim di Timur Tengah
Di lain pihak, dalam kasus Israel, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya dapat dilihat telah menjadi sekutu yang konsisten bagi Israel. Ketika Israel memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 14 Mei 1948 pada pukul 18.01. Sepuluh menit kemudian, pada pukul 18.11, Amerika Serikat langsung mengakuinya, tentu ini merupakan suatu posisi yang sangat berpihak dan putusan yang cenderung emosional. Dan kemudian pengakuan atas Israel juga dinyatakan segera oleh Inggris, Prancis dan Uni Soviet. Hingga kini pun Amerika Serikat tetap terus mendukung Israel. Kemandulan PBB dalam menyikapi agresi Israel tidak lain juga karena Amerika menghabiskan hak vetonya untuk menentang setiap sikap PBB yang akan menahan gerak agresi Israel.
Paparan sejarah keterlibatan negara-negara muslim dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, telah menambah satu lagi alasan bagi rakyat dan pemerintah Indonesia untuk mengambil peran lebih besar dalam menghadapi kesewenang-wenangan Israel. Peranan yang diharapkan tentu bukan lagi hanya sekedar turut serta mengutuk dan menyesali tindakan Israel dengan kata-kata. Sudah lama terbukti lembaran-lembaran kutukan tidak pernah bisa menghentikan agresi Israel. Momentum peringatan kemerdekaan Indonesia seharusnya mengingatkan bahwa perjuangan merebut hak kebebasan tidak akan pernah bisa tanpa kebersamaan dan keterlibatan pihak eksternal. Kini gilirannya Indonesia membuktikan menjadi kawan yang kritis namun konsisten dan berani bagi negara-negara muslim lainnya.
http://www.pks-dpcpancoran.blogspot.com/