Bercermin pada Negara Kaya


Mungkin masih belum hilang dalam ingatan kita, saat Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid menolak mobil Volvo S 90 Executive Automatic seharga 743 juta (saat itu) sebagai kendaraan dinasnya. Untuk urusan fasilitas mobil dinas Indonesia memang lebih 'jago' dibanding negara lain.

Indonesia jelas jauh lebih miskin ketimbang Belanda, tetapi soal gaya hidup pejabat negaranya Indonesia lebih unggul dari Belanda. Belanda adalah salah satu negeri terkaya di dunia, pendapatan penduduk perkapitanya mencapai 22.570 euro. Tetapi untuk urusan mobil dinas, menterinya cuma mendapatkan mobil bekas, sementara di Indonesia para menteri harus bermewah – mewah dengan mobil dinasnya.

Tahun 2004 saat penjualan mobil mewah di Cina merosot tajam, Mercedez dan Audi melaporkan penurunan 15 % dari total penjualan tahun sebelumnya, maka di negara yang namanya “Indonesia” ini penjualan mobil mewah mengalami kenaikan. BMW melaporkan pada tahun 2004 penjulan mobil di Indonesia mengalami kenaikan sebesar 0,6 % (laku 2.053 unit) dibanding penjulan sebelumnya. Hebatnya lagi untuk mobil super mewah seperti Bentley yang harga perunitnya mencapai Rp 5 miliar, puluhan orang Indonesia (termasuk para pejabatnya) sudah mampu membelinya.

Pengertian mobil dinas di Belanda adalah begitu selesai masa jabatannya maka mobil harus dikembalikan kepada negara, sehingga mobil itu bisa dipakai pejabat selanjutnya, negara tidak merogoh brankas lagi untuk membeli mobil baru untuk para pejabatnya.
Untuk anggota parlemen di Belanda, mereka tidak mendapatkan gaji dan tunjangan mobil, mereka hanya mendapatkan schadeloosstelling (ganti rugi) dan tunjangan yang pas –pasan. Anggota parlemen Belanda itu bukan pegawai negara, jadi jangankan mobil dinas, gaji (salaries) pun tidak ada. Istilah salaries menunjukan bahwa anggota parlemen berdinas pada pihak tertentu. Anggota parlemen independent dan tidak berdinas pada pihak manapun. Sehingga untuk urusan mobil ke Gedung Parlemen di Binnenhof (Den Haag) menjadi tanggung jawab masing – masing anggota parlemen. Apalagi mobilitas untuk merawat konstituen, itu bukan menjadi tanggung jawab dan beban negara, melainkan partai dari mana mereka berasal. Logikanya mudah saja, menemui konstituen adalah kepentingan partai, masak negara yang harus menanggung biayanya?.

Anggota parlemen hanya mendapat uang ganti rugi, besarnya tergantung pada jarak tempat tinggal dengan gedung parlemen. Untuk jarak 10 km kebawah maka tidak akan mendapatkan apa – apa, untuk jarak lebih dari 10 km ada pembagian – pembagiannya.
Makanya banyak anggota parlemen Belanda yang “ngantornya” tidak jarang menggunakan trem, sampai ada juga yang menggunakan sepeda. Oleh karenanya kita bisa melihat di halaman gedung parlemen di Binnenhof (di Den Haag) tidak akan ditemukan mobil sekelas jaguar dan sejenisnya, sementara kalau kita lihat di Gedung DPR RI Senayan, pemandangan menyerupai showroom mobil mewah dapat kita jumpai di sana.

Demikian hati – hati dan ketatnya Belanda mengelola keuangan negara, sehingga pada tahun 2001 saja neraca keuangan negara surplus sampai 7 miliar gulden. Kelebihan tersebut sebagaian dikembalikan kepada rakyat sebagai uang “surprised” dimana setiap rumah tangga menadapatkan 100 gulden (setara degan 100 kg gula). Sebagian lagi digunakan untuk membayar hutang negara, agar secepatnya berkurang.

www.pks-dpcpancoran.blogspot.com
Dari beberapa sumber