Ramadhan itu Cinta Kerja dan Harmoni





Bulan Ramadan adalah syahrut tarbiyah, bulan yang mendidik kita menjadi pribadi yang penuh dengan rasa cinta, pribadi yang bersemangat kerja dan pribadi yang mampu menciptakan harmoni.

CINTA
Setiap manusia pada dasarnya diberikan kecintaan terhadap harta benda dan itu adalah sebagai bagian dari naluri mempertahankan diri. Kecintaan ini memicu lahirnya sikap bakhil (pelit dan kikir) serta individualis, mementingan diri sendiri dan enggan berbagi. Salah satu hikmah dan rahasia berpuasa adalah  memupuk solidaritas, persamaan derajat, kasih sayang, tepa selira, kepedulian sesama dan kesetiakawanan sosial. Dengan hikmah dan rahasia puasa ini, manusia dilatih agar dapat meminimalisasi sikap bakhil dan individualis yang ada dalam dirinya sehingga dia mau berbagi dengan orang lain. Dengan puasa, orang akan merasakan betapa sakit dan perihnya menahan lapar, padahal itu hanya sementara waktu. Perasaan inilah yang akan mengingatkan mereka kepada sebagian saudaranya yang dhuafa yang senantiasa merasakan lapar dan dahaga sepanjang waktu. Perasaan itulah yang akan melahirkan rasa cinta seseorang kepada para saudaranya yang masih serba kekurangan.

Aksi praktik langsung solidaritas sosial yang umumya dilakukan pada waktu bulan puasa diantaranya adalah :
Pertama, memberikan makanan berbuka kepada orang – orang berpuasa
Kedua, memberikan zakat fitrah
Ketiga, memperbanyak sedekah
Keempat, menyegerakan zakat maal
Kelima, membayar fidyah bagi orang – orang yang tidak mampu menjalankan puasa

Atas dasar inilah, semestinya dengan puasa keberadaan kaum dhuafa  lebih dicintai dengan menumbuhkan sikap peduli, belas kasih, solidaritas, setia kawan, dan semacamnya untuk mengangkat dan mengentaskannya dari kemiskinan.  Dengan kepedulian ini diharapkan akan mampu mengurangi kesenjangan atau gap yang kian hari kian terbuka lebar antara kaum borjuis dan proletar. Bila kepedulian sesama manusia ini sudah tumbuh dan terjalin serasi maka keadilan, kemakmuran, dan kemajuan  optimis dapat tercapai.

KERJA
Dunia kontemporer seperti saat ini menuntut manusia bekerja di suatu bidang menurut spesialisasi dan kompetensi masing –masing, ini hanya bisa diperoleh dari sebuah proses ketekunan, ketelitian, keseriusan dan kerja keras. Dengan kompetensi dan spesialisasi itulah bisa dihasilkan kerja produktif dan profesional (dalam bahasa lain disebut itqan). Dari awal agama Islam telah menyerukan tentang kerja profesional (itqan) ini dalam segala urusan. Sebagaimana dalam karya dan pekerjaan, itqan juga harus dipraktikan dalam hal ibadah. Dalam hal ibadah puasa, manusia dituntut  melakukannya secara itqan agar mendapatkan hasil kerja yang memuaskan.

Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa puasa tidak ada nilainya di hadapan Allah SWT jika orang yang berpuasa tersebut masih melakukan hal – hal yang tidak etis seperti ucapan dusta, membicarakan aib orang dan mengadu domba. Ada sebagian orang yang berpuasa, tetapi berbohongnya jalan terus atau  ada juga orang yang berpuasa, tetapi ego dan emosinya tidak terkendali. Di satu sisi mereka berpuasa tetapi di sisi lain mereka melakukan kemaksiatan yang menodai nilai puasa itu sendiri.

Puasa yang mencapai tingkat profesional (itqan) adalah puasa yang memadukan aktivitas fisik dan aktivitas psikis, puasa lahir dan puasa batin. Disamping  mengendalikan diri dari makan, minum, seks dan semacamnya juga mengupayakan menahan diri dari kemaksiatan. Anggota tubuh yang berpuasa bukan hanya mulut dan kemaluan, namun mata, telinga, tangan, kaki, dan hati juga diupayakan ikut berpuasa.

Di antara manifestasi dari puasa yang profesional (itqan) ialah puasa tidak menjadi hambatan untuk beraktivitas sebagaimana biasanya. Puasa justru menjadi motor yang efektif untuk meningkatkan stamina dan vitalitas kerja agar mencapai produktivitas yang maksimal. Bila puasa dirasa justru menurunkan semangat  kerja dan produktivitas, ini merupakan  pandangan keliru dan boleh jadi bermula dari orang malas dan enggan berpuasa.

Puasa agar mencapai  tahap kerja profesional (itqan) memang pelu  ditempa dengan berbagai pengalaman, percobaan, dan latihan.  Sebagaimana jika ingin menjadi pakar atau profesional di bidang tertentu juga harus melalui proses ketekunan, ketelitian, keseriusan, dan kerja keras terlebuh dahulu. Berpuasa yang tidak itqan menurut Al-Ghazali adalah seperti puasanya orang awam (standar minimal dalam ibadah).   

HARMONI
Bulan suci ramadhan adalah bulan yang sangat berharga. Bukan hanya dilihat dari segi spiritual saja, tetapi dari segi sosial dan budaya. Bulan suci Ramadhan adalah masa di mana bangsa kita dapat memperlihatkan persatuan dalam keragaman yang nyata. Di tengah-tengah kisruh isu-isu SARA yang seringkali menimpa bangsa ini, Ramadhan sesungguhnya telah memperlihatkan bagaimana bangsa Indonesia dapat bersatu secara harmonis dan selaras di antara perbedaan-perbedaan yang ada.

Lihatlah bagaimana masyarakat saling bertoleransi saat Ramadhan tiba. Bagaimana masyarakat saling menghargai dan menghormati. Yang berpuasa menjalankan ibadah, sementara orang agama lain yang tidak berpuasa mendukung ibadah itu dengan tidak makan atau minum di depan umum dan turut berempati dengan seolah menjalankan ibadah itu pula.

Harmoni ini akan semakin terasa ketika lebaran / Idul Fitri tiba. Setiap Idul Fitri, kita sekeluarga akan mengunjungi kerabat yang lain untuk bersilaturahmi. Kebiasaan saling mengirim parcel atau hidangan-hidangan khas lebaran juga tidak akan terlewat. Tetangga - tetangga pun berkunjung ke tetangga yang lain untuk bermaaf-maafan di hari kemenangan tersebut tanpa melihat dia muslim atau bukan. Dan itu dapat ditemukan di mana saja di belahan negara kita tercinta Indonesia ini.

Semoga di bulan suci yang akan datang sebentar lagi, bangsa Indonesia dapat mampu mempertahankan harmoni ini. Siapapun anda, latar belakang dan agama anda, marilah kita bersatu agar bangsa kita semakin solid! Semakin kokoh dan tidak mudah tercerai-berai terutama dalam menghadapi masalah-masalah yang mampu merobek kebersamaan yang kita junjung selama ini.