MENUJU JAKARTA SEBAGAI KOTA KESEJAHTERAAN YANG BERKELANJUTAN (JAKARTA WELFARE AND SUSTAINABLE CITY)
Ahmad Sahal |
oleh Ahmad Sahal (mantan ka. dpc pks pancoran 2006 - 2008)
Ada dua kata yang menjadi perhatian dan cita-cita kita bersama dalam
kalimat judul di atas yaitu kesejahteraan(welfare) dan berkelanjutan
(sustainable). Jakarta sebagai kota kesejahteraan mensyaratkan adanya
perlindungan dan jaminan kesejahteraan bagi setiap warganya, minimal
dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, kesehatan dan pendidikan.
Contoh-contoh dalam sejarah Islam menunjukkan bahwa Islam telah memulai
melaksanakan konsep welfare city seribu tahun lebih awal dari
pelaksanaan welfare state di Negara-negara barat.
Dalam era khalifah
Umar bin Khatab, Negara memberikan uang sejumlah 200 dinar bagi setiap
bayi yang lahir dan senantiasa bertambah pada tahun-tahun berikutnya
sampai bayi tersebut mencapai usia akil baligh. Umar juga telah
meletakkan dasar-dasar konsep jaring pengaman sosial ketika menanggung
nafkah bahan pokok bagi warga miskin, dalam sebuah riwayat disebutkan
bahwa Umar memanggul sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada
warga miskin yang bersumber dari baitul maal Negara. Berkelanjutan
mensyaratkan adanya konsistensi pelaksanaan Jakarta sebagai welfare-city
yang menjadi komitmen semua stake holder Jakarta, tidak peduli siapapun
gubernurnya dan siapapun anggota DPRD nya. Komitmen untuk menjadikan
Jakarta yang memberikan jaminan kesejahteraan bagi warganya harus
terwujud dalam kontrak politik yang jelas, misalnya tercantum dalam
undang-undang atau perda yang mengikat semua pihak. Ini penting supaya
Jakarta sebagai welfare-city menjadi program yang berkelanjutan dan
bukan menjadi program kampaye calon gubernur tertentu atau partai
tertentu.
Apa bentuk konkrit dari Jakarta sebagai welfare-city itu? Bila kita mengambil contoh dari Negara- Negara di Eropa atau Amerika Serikat, konsep welfare-state dilaksanakan dengan memberikan jaminan sosial bagi setiap penduduknya, seperti pendidikan gratis, asuransi kesehatan, sampai dengan subsidi untuk membeli sembako bagi warga yang jobless atau tergolong miskin dengan dana yang bersumber dari pembayar pajak seperti di AS atau dikombinasikan dengan kontribusi dari pihak swasta atau warga yang mampu seperti di Jerman.
Mungkinkah itu
diterapkan pada Jakarta sementara Indonesia sendiri sebagai Negara belum
secara penuh menerima dan melaksanakan konsep welfare-state? Jawabannya
sangat mungkin. Dari aspek legal formal UU Sistem Jaminan Sosial
Nasional mendukung penerapan bagi pemerintah provinsi yang ingin
mewujudkan komitmen jaminan kesejahteraan bagi warganya. Dari aspek daya
dukung financial, dengan APBD DKI Jakarta yang cukup besar (puluhan triliunan rupiah) sebenarnya sangat mungkin bagi Jakarta untuk menjadi
welfare-city, minimal untuk menjamin kesejahteraan bagi dua jenis
kebutuhan dasar warga yaitu kesehatan dan pendidikan. Bila pemerintah
mampu menjamin dua kebutuhan ini, niscaya kesejahteraan warga akan
sangat meningkat dan secara otomatis akan menjadikan SDM Jakarta sebagai
SDM yang berkualitas, yaitu sehat dan cerdas. Pemprov DKI Jakarta
seharusnya mampu mengasuransikan seluruh warga Jakarta dengan asuransi
jiwa dan kesehatan, paling tidak sama dengan standar ASKES bagi pegawai
negeri sipil. Sementara untuk jaminan pendidikan, Pemprov seharusnya
mampu memberikan pendidikan gratis- seperti yang sekarang telah berlaku
untuk tingkat SD dan SMP-sampai tingkat SMA, termasuk untuk Madrasah
swasta. Tidak hanya mengratiskan biaya pendidikan dan kesehatan, namun
juga memfasilitasi infrastrukturnya dengan kualitas memadai, seperti
gedung sekolah dan unit pelayanan kesehatan (rumah sakit dan puskesmas)
yang representatif.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana kita bisa menuju ke sana? Jalan menuju Jakarta sebagai welfare-city bukanlah suatu utopia meskipun tidak dapat dikatakan mudah.
Beberapa poin di
bawah ini diharapkan dapat menjadi terobosan untuk menuju Jakarta sebagi
welfare city:
1.Menegaskan komitmen jaminan kesejahteraan dalam bentuk komitmen konstitusional yaitu harus dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah atau Undang-Undang
2. Mendesakkan agenda kebijakan penghematan APBD (Nurhadi, 2008) antara lain:
(i) penciptaan mekanisme anggaran yang dapat menjamin bahwa pengeluaran-pengeluaran pemerintah berada pada tingkat yang wajar;
1.Menegaskan komitmen jaminan kesejahteraan dalam bentuk komitmen konstitusional yaitu harus dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah atau Undang-Undang
2. Mendesakkan agenda kebijakan penghematan APBD (Nurhadi, 2008) antara lain:
(i) penciptaan mekanisme anggaran yang dapat menjamin bahwa pengeluaran-pengeluaran pemerintah berada pada tingkat yang wajar;
(ii)
menghapus kegiatan-kegiatan pejabat publik yang tidak bermanfaat bagi
rakyat miskin seperti studi banding dan penelitian yang tidak jelas
tujuannya;
(iii) menghapus duplikasi kegiatan yang dilakukan oleh
berbagai instansi. Sementara itu, kebijakan penghapusan korupsi dalam
APBD meliputi tindak lanjut yang tegas dan memadai atas hasil audit
terhadap APBD dan penegakan hukum tanpa pandang bulu atas setiap
penyalahgunaan dana APBD.
3. Menggalang partisipasi masyarakat misalnya dunia usaha untuk turut berpartisipasi dalam mendanai jaminan kesejahteraan bagi warga kurang mampu. Namun hal ini mustahil dapat dilakukan sebelum pemerintah daerah mampu membuktikan diri sebagai administrator yang bersih, peduli dan profesional. Bila pemda sudah terbukti mampu mengelola APBD dengan baik dan tepat sasaran seperti tersebut dalam poin 2 di atas, niscaya masayarakat akan berbondong-bondong mendonasikan dana atau bentuk-bentuk kontribusi lainnya kepada pemrintah.
Konsep welfare-city memang sangat ideal dan sejatinya adalah cita-cita Islam yang Rahmatan lil Alamin. Adalah menjadi tanggung jawab PKS sebagai partai dakwah untuk menjadi pengemban pertama dan motor utama dari cita-cita mulia ini. Semoga kemenangan dakwah bisa dimulai dari Jakarta seperti praktik yang terjadi di Turki, sehingga From Istanbul to Turkey akhirnya juga menjadi From Jakarta to Indonesia. Allahu Akbar!!!
3. Menggalang partisipasi masyarakat misalnya dunia usaha untuk turut berpartisipasi dalam mendanai jaminan kesejahteraan bagi warga kurang mampu. Namun hal ini mustahil dapat dilakukan sebelum pemerintah daerah mampu membuktikan diri sebagai administrator yang bersih, peduli dan profesional. Bila pemda sudah terbukti mampu mengelola APBD dengan baik dan tepat sasaran seperti tersebut dalam poin 2 di atas, niscaya masayarakat akan berbondong-bondong mendonasikan dana atau bentuk-bentuk kontribusi lainnya kepada pemrintah.
Konsep welfare-city memang sangat ideal dan sejatinya adalah cita-cita Islam yang Rahmatan lil Alamin. Adalah menjadi tanggung jawab PKS sebagai partai dakwah untuk menjadi pengemban pertama dan motor utama dari cita-cita mulia ini. Semoga kemenangan dakwah bisa dimulai dari Jakarta seperti praktik yang terjadi di Turki, sehingga From Istanbul to Turkey akhirnya juga menjadi From Jakarta to Indonesia. Allahu Akbar!!!