Partai, Antara Kemenangan Politik dan Kemenangan Rakyat

Kita melihat kawan - kawan sering terlena pada kemenangan Pileg dan terjebak pada hitungan angka-angka dalam persentase. Padahal kemenangan pileg tidak selamanya berbangding lurus dengan kemenangan rakyat.

Seperti telah diberitakan, sejauh ini ada sebuah partai telah memenangkan sebuah pemilu pileg dengan perolehan 19 –an  persen. Sebuah kemenangan politik, yang masih  perlu didiskusikan panjang  untuk menyebutnya sebagai kemenangan rakyat. Kita membedakan dua terminogi tersebut, meski politik adalah bagian dari rakyat:

 
1)      Kemenangan  Politik, ketika masyarakat dalam sebuah daerah secara dominan menurut UU pemilu memilih calon yang diusung partai dengan berbagai alasan mereka masing-masing, meskipun mereka tidak faham esensi yang diperjuangkan sebenarnya. Kemenangan ini lebih disebabkan karena kecerdasan Partai dalam mengangkat isu dan strategi kampanyenya.


2)      Kemenangan  rakyat, ketika pemilih (masyarakat) secara sadar  faham dengan apa yang sejatinya diperjuangkan oleh idealnya sebuah partai, kemudian bersedia diatur seluruh peri kehidupannya berdasarkan nilai yang diperjuangkan partai. Inilah yang kemudian disebut kemenangan sesungguhnya.


Kemenangan rakyat yang sebenarnya lebih tercermin pada peristiwa  fathu makkah, di mana penduduk  Mekkah berbondong-bondong menerima  Islam sebagai dien mereka, bukan sekedar agama. Bukan pula karena figur Muhammad semata, atau tentaranya. Inilah kemenangan rakyat. Bukan kemenangan politik seperti  kemenangan Rasululah pada perang-perang sebelum Fathu Makkah, yang berakhir dengan kematian musuh-musuh Islam. Kemengan sebelum Fathu Makkah tidak menjadikan kaum kafir Quraisy menerima rakyat Nabi SAW.

Trend kemenangan partai selama ini adalah kemenangan politik. Maka jangan heran ketika sebuah daerah dan daerah lainnya dikuasai partai tertentu, perubahan itu tak kunjung dirasakan masyarakat.Lalu apa yang salah?


Syaikh Yusuf Qaradhawi berkata, di antara prioritas penting adalah mendahulukan kualitas daripada kuantitas. Ukurannya bukanlah jumlah yang banyak dan besarnya bentuk, akan tetapi kualitas dan tata cara yang ditempuh. Quran mencela kelompok mayoritas jika para anggotanya terdiri dari orang-orang yang tidak berakal, tidak berilmu, tidak beriman atau tidak bersyukur.


Hal ini seyogyanya menjadi pelajaran bagi partai - partai. Jika partai mengusung nilai nasionalis dan pembela wong cilik, seharusnya ia tidak melupakan  pilar-pilar asasi dari rakyat itu, pembinaan masyarakat kecil, bukan perekrutan politik masyarakat. Disana masih banyak yang  tidak mengerti konsep partai yang menyeluruh terhadap rakyat itu seperti apa.


Egoisme Partai...
Kritik terbesar bagi sebuah partai adalah sikap keegoisannya,  seolah  semua kebaikan rakyat adalah partai yang melakukan, yang nasionalis hanya partainya, yang bisa membela wong cilik hanya dia. Padahal kenyataannya semua partai dan komponen bangsa yang lain bergerak melakukan hal yang sama. Maka saatnya partai – partai itu  berfikir untuk menyatukan semua potensi  dan  mengarahkanya menuju tujuan utama; tegaknya Negara dan Bangsa ini  di bawah Keadilan dan Kesejahteraan. Meminjam istilah  Ustadz Anis Matta yaitu ”Partai adalah matchmaker” bagi seluruh potensi yang ada di negeri ini, dan itulah yang  diharapkan bagi seluruh  partai dan komponen bangsa di negeri ini karena beban rakyat tidak mungkin dipikul satu partai sendirian saja.


Paradigma mau menang sendiri, mau dianggap pahlawan sendiri ini  sudah saatnya dihapus dari kamus partai – partai yang merasa menang secara politik. Jika partai – partai tersebut mau mengubah paradigma ini, insyaallah tegaknya  masyarakat yang adil dan sejahtera sudah dekat, karena persatuan adalah kunci kemenangan.