Mengapa PKS Hanya Dapat 6,79 % Suara?
Sejak hasil akhir rekapitulasi suara PEMILU 2014 pertama kali dikeluarkan KPU Pusat,
sudah bnyak yang bertanya “Mengapa PKS hanya dapat 6,79 % suara?”
Hal pertama yang harus
diklarifikasi adalah bahwa kami hanya orang awam yang tidak memiliki basis
data lengkap suara keseluruhan seluruh Indonesia, juga latar belakang keilmuan yang cukup untuk
memberikan analisa yang komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. Kedua, kami juga bukan orang yang berwenang dalam menentukan
langkah-langkah strategis PKS ke depannya, sehingga tak mungkin bagi
kami untuk memberitahukan bagaimana sikap resmi PKS berikutnya, Sikap resmi PKS
akan ditentukan oleh DPP maupun Majelis Syuro PKS.
Yang lebih penting daripada analisa, hemat kami, adalah
memberikan respon yang tepat terhadap semua fenomena. Penting sekali bagi setiap
Muslim untuk terus mengingatkan dirinya bahwa hidup ini Cuma aksi-reaksi. Allah
SWT sebagai pemberi aksi, dan kita dituntut untuk memberikan reaksi yang
tepat. Bocorannya sudah diberikan sejak dahulu kala. Rasulullah saw. pernah
menjelaskan bahwa hanya ada dua hal yang menyebabkan kehidupan seorang
Muslim begitu luar biasa, yaitu : sabar dan syukur. Respon yang perlu kita
berikan tidak boleh keluar dari yang dua ini.
Prinsip pertama yang harus dipegang adalah berprasangka
baik kepada Allah SWT. Semua kehendak-Nya pasti terlaksana, dan tak ada satu
pun ciptaan-Nya yang tanpa hikmah, baik berupa material maupun fenomena. Tapi
tak cukup berhenti sampai titik itu. Kita pun wajib meyakini bahwa skenario
yang dipilih oleh Allah adalah yang terbaik. Perbedaan dari evaluasi yang benar
dengan menyesali nasib adalah pada perilaku berandai-andai. Sebenarnya akal
manusia tidak punya kemampuan untuk menyusun skenario kehidupan, karena begitu
banyaknya variabel yang terlibat.
Maka, pandanglah angka 6,79 % itu dengan perasaan dekat
dengan Allah. Jika hati merasa berat, maka bersabarlah. Kemudian cobalah tinjau
fenomena ini dari berbagai perspektif yang akan membuat kita untuk mudah bersyukur.
Kenaikan dukungan dari 1,5% pada Pemilu 1999 menjadi 7,5%
pada Pemilu 2004, naik lagi menjadi 8 % pada 2009 tidak hanya ditanggapi dengan gegap gempita,
namun ada juga sisi bahayanya. Kita sudah sama-sama mengalami tahapan ketika
dakwah harus dilaksanakan seperti petak umpet dengan rejim penguasa. Kita juga mengalami
tahapan ketika para da'i merasa gamang diterjunkan ke kancah politik. Kemudian,
kita juga pernah mencicipi euforia ketika dukungan dari masyarakat berlipat
ganda dan PKS menjadi parpol yang sangat diperhitungkan. Ketika jatah kursi di
DPR berlipat ganda, maka waktu pendewasaan diri bagi para kader pun disingkat
hingga berkali-kali pula, harus melakukan akselerasi dan percepatan –
percepatan.
Pembagian tugas adalah sebuah keniscayaan. Ada yang harus
duduk di Majelis Syuro, ada yang mesti menerima amanah di Dewan Syariah,
ada yang menjadi pengurus DPP, DPW, DPD, DPC, hingga ke DPRa. Di luar jabatan
struktural itu, ada juga yang mesti kembali konsentrasi menjalani kaderisasi
sebagai pembina (murabbi) yang sekaligus juga menjadi mutarabbi.
Target suara tiga besar dalam Pemilu 2014 juga mesti
dilihat dari dua sisi. Tentu tidak ada salahnya mematok harapan setinggi
langit, namun harus siap juga menghadapi kewajiban-kewajiban yang datang
beserta cita-cita itu. Andaikan target 3 besar itu benar-benar berhasil
ditembus, itu artinya dukungan suara untuk PKS kembali berlipat ganda. Kalau
benar-benar mendapat posisi tiga besar, bagaimanakah perbandingan antara kader
dan simpatisan? Seberapa siapkah mesin politik PKS untuk mengelola tanggung
jawab sebesar itu?
Kalau sudah bisa menerima angka 6,79 % dengan hati lapang
(baca : bersabar), tibalah gilirannya untuk bersyukur. Pandanglah angka 6,79% itu
sebagai tanda cinta Allah kepada jalan dakwah ini. Segala puji bagi Allah yang
tidak menuntut hamba-hamba- Nya untuk melakukan sesuatu di luar kemampuannya.
Kita punya waktu lima tahun lagi untuk membenahi apa-apa
yang belum sempat kita benahi lima tahun ke belakang. Segala yang kendur bisa dikencangkan,
yang lalai bisa dikoreksi, sementara mendewasakan diri untuk menerima tanggung
jawab di tahapan dakwah berikutnya. Kita tidak perlu memaksa diri mengambil
tanggung jawab 'level tiga besar' jika posisinya masih di 'level tujuh
besar'.
Bersabarlah, dan bersyukurlah. Jalan masih
panjang.
Diilhami dan di aransemen kembali dari
tulisan Akmal Sjafril (Mahasiswa Program Pasca Sarjana, Magister
Pendidikan dan Pemikiran Islam, Universitas Ibnu Khaldun Bogor)