Mahalnya Mencari Pemimpin (Presiden)



Sebelumnya kita telah melaksanakan memilih para wakil kita di Senayan pada tanggal 9 April 2014 kemarin, jumlahnya sangat banyak ditambah calon anggota DPD. Biaya Pemilu yang dianggarkan KPU mencapai Rp 16  triliun. Belum lagi dana dari setiap Partai dan masing-masing Caleg mencapai lebih dari Rp 3,1 triliun. Pengeluaran PDIP sebesar Rp 404,7 miliar, Golkar menghabiskan Rp 402 miliar, Gerindra Rp 434,9 miliar , Demokrat sebesar Rp 307 miliar, Hanura Rp 365 miliar. 

Menurut KPU pada pemilu 2009, dana kampanye Capres sampai tanggal 5 Juli 2009 adalah sebagai berikut : JK-Wiranto Rp 83.327.864.390, SBY Budiono Rp 200.470.446.232. Mega Pro Rp 257.600.050.000. Pada pemilu 2004, Capres Wiranto - Sholahuddin Wahid menghabiskan dana kampanye Rp 86 milar, Megawati - Hasyim Muzadi Rp 84 miliar, Amien Rais - Siswono Rp 16 miliar. Semua sumber daya kita terkuras, baik materi (dana) dan non materi (potensi konflik), untuk memilih pemimpin yang belum tentu juga kebaikannya untuk rakyat. Bayangkan kalau dana tersebut untuk biaya kesehatan rakyat miskin, membangun sekolah, perbaikan infrastruktur desa dan lain - lain.

Ada contoh cara memilih pemimpin dengan cara Islam, yaitu dalam kisah tentang Muhammad Al-Fatih ketika masuk dan menaklukkan kota Konstantinopel atau Istambul. Pertempuran selesai dan reda, pada hari Rabu saat itu, setelah cukup beristirahat, Muhammad Al-Fatih mengumpulkan seluruh pasukannya di tanah lapang pada keesokan harinya.

Hari Kamis, Muhammad Al-Fatih mengumpulkan pasukannya hanya untuk memilih imam untuk sholat Jum’at, besok hari. Seluruh pasukan berkumpul di tanah lapang dan Muhammad Al-Fatih mulai mengajukan 3 pertanyaan.

Pertanyaan pertama : ”Barangsiapa sejak aqil baligh sampai hari ini, pernah meninggalkan sholat fardhu, meski sekali silahkan duduk!” Ketika pertanyaan pertama diajukan, jawabannya sungguh luar biasa, tak seorangpun dari pasukannya yang duduk. Artinya tak seorangpun dari pasukannya pernah meninggalkan sholat fardhu. Subhanallah betapa hebat kualitas pasukan Muhammad Al-Fatih ini.

Pertanyaan kedua : ”Barangsiapa sejak aqil baligh sampai hari ini, pernah meninggalkan sholat sunnah rawatib, meski sekali silahkan duduk!” Ketika pertanyaan pertama diajukan, setengah dari pasukannya duduk. Artinya secara jujur mereka mengakui bahwa setengah dari pasukan pernah meninggalkan sholat sunnah rawatib. Itupun sungguh luar biasa. Menjaga sholat sunnah rawatib, siapa yang pernah memikirkannya seserius itu.

Pertanyaan ketiga : ”Barangsiapa sejak aqil baligh sampai hari ini, pernah meninggalkan qiyamul lail, meski hanya semalam silahkan duduk!” Ketika pertanyaan ketiga diajukan, semua pasukan terduduk dan hanya menyisakan Muhammad Al-Fatih yang berdiri. Artinya dari semua yang hadir, hampir semuanya pernah meninggalkan qiyamul lail dan hanya Muhammad Al-Fatih sendiri yang tak pernah meninggalkannya.

Subhannallah, alangkah nikmatnya dipimpin oleh seorang pemimpin yang tak pernah meninggalkan sholat malam, serta betapa murahnya jika kita memiliki metode pemilihan langsung seperti ini? Wallahu’alam.