Over Estimate Terhadap (Calonnya) PKS


April 2014 kemarin Partai Keadilan Sejahtera (PKS) genap berusia enam belas tahun. Boleh dibilang, PKS masih baru akil baligh dalam percaturan politik di Tanah Air. Meski masih terbilang muda, harus diakui PKS ternyata mampu bersaing dengan partai-partai lain yang sudah banyak makan asam garam perpolitikan. 

Ditimpa angin prahara dahsyat selama setahun lebih, namun kini partai yang diprediksi banyak pengamaat dan lembaga survey tidak lolos Parliamentary Threshold ini ternyata masih tetap bertahan dan di beberapa daerah mengalami kenaikan.  Dukungan masyarakat itu kemudian menjadikan PKS tetap punya posisi yang masih lumayan, sehingga PKS pun tetap diperhitungkan dalam kancah politik nasional.  Dalam percaturan politik, baik di tingkat pusat maupun daerah, PKS kini tidak lagi dipandang sebelah mata. Bahkan di sejumlah daerah PKS dipersepsi memiliki kekuatan yang begitu hebat, seperti di Jawa Barat, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan juga Maluku Utara. 

Koalisi Besar yang dibangun parpol besar dan kecil untuk pilpres Juli 2014 nanti contohnya. Partai sebesar Golkar dan PDI Perjuangan, masih merasa perlu berkomunikasi menandingi kekuatan PKS dan partai – partai Islam lainnya. Sedigdaya itukah PKS sehingga harus diimbangi oleh koalisi - koalisi besar parpol? 

Dalam konteks Pilpres, estimasi terhadap kekuatan PKS terasa berlebihan. Jika saja para peserta Koalisi Besar mau menjadikan riset-riset yang dilakukan berbagai lembaga, tentu mereka tidak akan memiliki persepsi berlebihan seperti itu. Survei-survei itu menunjukkan, Pemilu 2014 persentase perolehan suara PKS terus menurun dan tidak akan mencapai Parliamentary Threshold.

Lingkaran Survey Indonesia (LSI), Jaringan Survey Indonesia (JSI) dan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) serempak mengatakan, bahwa PKS takkan lolos ambang batas parlemen atau biasa dikenal dengan Parliamentary Threshold.

Masih dalam konteks pilpres, calon presiden dan wakil presiden yang diusung PKS pun tidak sementereng calon lainnya. Kalau kita lihat, survey – survey selalu menempatkan capres tertentu dari partai lain di posisi yang selalu tinggi. Ada sebuah guyonan di masyarakat bahwa berkaitan dengan capres partai lain tersebut, “Jika dipasangkan dengan sandal jepit saja, masih akan menang koq”. Sampai – sampai ada berita yang menyatakan bahwa seorang akademisi berani sesumbar untuk capres partai tersebut, “Jika kalah, silahkan potong leher Saya.”  Sementara tingkat pengenalan (awareness) maupun tingkat pilihan masyarakat Indonesia terhadap capres dan cawapres yang dijagokan PKS, masih di bawah calon partai lain tersebut.

Bercermin dari angka-angka survei tersebut, sulit memahami mengapa partai-partai besar itu berkoalisi 'Asal bukan yang diusung PKS’ ? Sampai-sampai partai - partai menjadi kurang pede untuk mencalonkan jagoan – jagoannya.

Ada sejumlah kemungkinan untuk menjelaskan fenomena itu. Pertama, ada kemungkinan elite partai – partai besar itu tidak yakin, meragukan, atau mungkin tidak mempercayai hasil survei itu. Kekuatan riil PKS dianggap melampaui atau lebih besar dari angka-angka survei. Ini tentunya yang menjadi bahan pertanyaan para elitenya.

Kedua, ada kemungkinan para elite partai ikut termakan isu Islamisasi yang akan dilakukan jika PKS ikut berkuasa. Sehingga ada yang sempat menyebut PKS sebagai musuh ideologis. Yang lain menyebut koalisi besar itu untuk menjaga pluralisme dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam pandangan mereka jika PKS menang dikhawatirkan akan semena-mena menerapkan perda syariat sehingga mengancam pluralisme dan NKRI.

Alasan ini cukup mengherankan juga. Pasalnya, jika PKS dianggap sebagai musuh ideologis, mengapa hal itu hanya berlaku di Pilpres? Sementara dalam ratusan pilkada yang sudah digelar di berbagai daerah, partai-partai tersebut justru bahu membahu dengan PKS mengusung calon dalam pilkada.
Kemudian terkait Perda syariah di beberapa daerah, para elite politik itu tentu tahu jawabannya dengan pasti. Di daerah-daerah tersebut, PKS tidak dominan, baik di legislatif, apalagi eksekutif. Sebaliknya di daerah di mana PKS dominan, baik di legislatif maupun eksekutif hal yang selalu disangkakan tampaknya tidak terjadi.

Ketiga, ketakutan terhadap militansi kader-kader PKS. Sudah menjadi rahasia umum, PKS memiliki kader-kader dengan tingkat militansi yang tinggi. Militansi kader memang terbukti efektif dan efisien dalam menggerakkan mesin politik PKS. Jika mesin politik PKS bergerak kencang memasarkan atau mensosialisasikan kandidat yang diusungnya, dikhawatirkan akan mengubah angka-angka survei yang selama ini kurang menguntungkan bagi kandidat PKS. Kekhawatiran dan estimasi berlebihan para elite politik, yang kemudian melahirkan isu 'Asal bukan yang diusung PKS’, sangat boleh jadi justru akan menguntungkan PKS dan calon yang diusungnya.