Koalisi Sebelah itu Koalisi Sarang Laba - Laba
Koalisi sebelah seperti tampak seolah – olah sangat kokoh.
Tetapi sesungguhnya bukan tidak terkalahkan. Koalisi itu sejatinya hanyalah
koalisi sarang laba – laba.
Anggaplah isu itu benar, partai – partai pemenang pemilu legislatif 9 april membentuk koalisi besar untuk merebut kursi presiden. Rasanya nama yang akan duduk di kursi paling bergengsi itu memang tinggal menunggu waktu saja.
Koalisinya memang terkesan sangat kokoh, dampaknyanya pun seolah akan sangat dahsyat. Kalau dua kekuatan politik pendulang suara mayoritas bergabung menjadi satu, tampaknya memang seng ada lawan, apalagi kalau koalisi itu mengajak salah satu partai Islam atau berbasis ummat islam untuk bergabung, maka ummat Islam akan merasa terakomodasi. Dan rasanya partai – partai Islam juga banyak yang berminat.
Kalau koalisi besar itu jadi kenyataan, maka akan terbentuk koalisi dua kekuatan besar pemenang pemilu 2014 plus satu atau dua partai Islam. Hasilnya sepertinya akan banyak disepakati orang bahwa yang diusungnyalah yang akan jadi Presiden. Apalagi setiap hari kita di brain wash doktrin pers bahwa koalisi itu tidak terkalahkan, bahwa koalisi itu akan menjadi tulang punggung integrasi dan pembangunan Indonesia.
Tetapi benarkah akan sederhana itu sebuah cerita politik di negeri ini akan berakhir? Benarkah dua pemerintahan yang pernah merasakan memerintah negeri ini dengan rapor merahnya masing – masing itu bisa dengan mudah merebut keprcayaan rakyat? Benarkah, seperti kesan Barat selama ini tentang ummat Islam, ummat kita hanya mempunyai memori atau ingatan yang terlalu pendek, sehingga mudah melupakan sisi – sisi gelap rezim masa lalu ? Benarkah lembaran – lembaran ratusan ribu rupiah akan bisa mengalahkan pilihan nurani rakyat Indonesia? Benarkah dua kekuatan partai pemenang pemilu legislatif bisa dengan mudah menggiring konstituen partai atau ormas Islam yang menjadi pendukungnya untuk satu suara mendukung capres koalisinya ?
Cerita kemenangan itu rasanya terlalu telak. Disitu ummat Islam tampak begitu gampang diarahkan. Koalisi itu agaknya dibangun dari logika yang sangat sederhana : Kalau pemenangan mayoritas bersatu, siapa yang bisa dilawan? Dalam benak mereka, “Kita hanya perlu menenangkan ummat Islam dan membuat mereka tidak merasa terlalu kalah dengan menggaet salah satu partai mereka.”
Barangkali ada cara lain untuk bertanya. Apakah yang melatari koalisi ini? PDI-P dan Golkar yang dulu merupakan dua musuh bebuyutan, kenapa tiba – tiba berkoalisi ? Motif dan kepentingan apakah yang memungkinkan itu terjadi? Pertanyaan itu penting, karena jawabnnya adalah indicator kekuatan dan soliditas koalisi tersebut.
Sesungguhnya tidak ada ideologi yang melatarinya, juga nurani. Karena sebagaimana mereka pernah berkuasa, rakyat Indonesia juga tidak merasakan apa - apa yang mereka pernah janjikan.
Di tengah ledakan pertisipasi politik masyarakat, dan meningkatnya kecerdasan dan serta semakin kritisnya para pemilih, memang tidak mudah lagi bagi sebuah rezim baru untuk menancapkan kuku kekuasaannya dalam jangka panjang. Ikatan ideologi atau emosional tidak lagi mampu atau mempertahankan loyalitas pemilih, jika kekuatan mereka ternyata tidak memberikan apa – apa bagi rakyat. Jargon nasionalisme, bahkan religiusitas tidak lagi menarik bagi rakyat. Kinerjalah yang dilihat oleh masyarakat : kinerja partai, kalau belum berkuasa, dan kinerja pemerintahan saat dia berkuasa sebelum - sebelumnya.
Kursi presiden memang sangatlah bergengsi untuk diraih. Karena itu harus ada jalan untuk menduduki kursi tersebut. Jawaban pintasnya adalah carilah kawan yang bisa diajak berbagi tanpa harus membuatnya merasa besar, ya golkarlah yang mereka cari. Seperti juga golkar mencari mereka, bukan saja untuk membantu mereka aman dan diamankan tetapi juga untuk membantunya untuk merebut posisinya kembali.
Jadi mudah saja memahami gelagat hati yang cemas di balik koalisi ini. Dua kekuatan yang sedang berada di persimpangan jalan yang sedang dilanda kepanikan, mereka akhirnya bersatu untuk saling cegah kehancuran.
Anggaplah isu itu benar, partai – partai pemenang pemilu legislatif 9 april membentuk koalisi besar untuk merebut kursi presiden. Rasanya nama yang akan duduk di kursi paling bergengsi itu memang tinggal menunggu waktu saja.
Koalisinya memang terkesan sangat kokoh, dampaknyanya pun seolah akan sangat dahsyat. Kalau dua kekuatan politik pendulang suara mayoritas bergabung menjadi satu, tampaknya memang seng ada lawan, apalagi kalau koalisi itu mengajak salah satu partai Islam atau berbasis ummat islam untuk bergabung, maka ummat Islam akan merasa terakomodasi. Dan rasanya partai – partai Islam juga banyak yang berminat.
Kalau koalisi besar itu jadi kenyataan, maka akan terbentuk koalisi dua kekuatan besar pemenang pemilu 2014 plus satu atau dua partai Islam. Hasilnya sepertinya akan banyak disepakati orang bahwa yang diusungnyalah yang akan jadi Presiden. Apalagi setiap hari kita di brain wash doktrin pers bahwa koalisi itu tidak terkalahkan, bahwa koalisi itu akan menjadi tulang punggung integrasi dan pembangunan Indonesia.
Tetapi benarkah akan sederhana itu sebuah cerita politik di negeri ini akan berakhir? Benarkah dua pemerintahan yang pernah merasakan memerintah negeri ini dengan rapor merahnya masing – masing itu bisa dengan mudah merebut keprcayaan rakyat? Benarkah, seperti kesan Barat selama ini tentang ummat Islam, ummat kita hanya mempunyai memori atau ingatan yang terlalu pendek, sehingga mudah melupakan sisi – sisi gelap rezim masa lalu ? Benarkah lembaran – lembaran ratusan ribu rupiah akan bisa mengalahkan pilihan nurani rakyat Indonesia? Benarkah dua kekuatan partai pemenang pemilu legislatif bisa dengan mudah menggiring konstituen partai atau ormas Islam yang menjadi pendukungnya untuk satu suara mendukung capres koalisinya ?
Cerita kemenangan itu rasanya terlalu telak. Disitu ummat Islam tampak begitu gampang diarahkan. Koalisi itu agaknya dibangun dari logika yang sangat sederhana : Kalau pemenangan mayoritas bersatu, siapa yang bisa dilawan? Dalam benak mereka, “Kita hanya perlu menenangkan ummat Islam dan membuat mereka tidak merasa terlalu kalah dengan menggaet salah satu partai mereka.”
Barangkali ada cara lain untuk bertanya. Apakah yang melatari koalisi ini? PDI-P dan Golkar yang dulu merupakan dua musuh bebuyutan, kenapa tiba – tiba berkoalisi ? Motif dan kepentingan apakah yang memungkinkan itu terjadi? Pertanyaan itu penting, karena jawabnnya adalah indicator kekuatan dan soliditas koalisi tersebut.
Sesungguhnya tidak ada ideologi yang melatarinya, juga nurani. Karena sebagaimana mereka pernah berkuasa, rakyat Indonesia juga tidak merasakan apa - apa yang mereka pernah janjikan.
Di tengah ledakan pertisipasi politik masyarakat, dan meningkatnya kecerdasan dan serta semakin kritisnya para pemilih, memang tidak mudah lagi bagi sebuah rezim baru untuk menancapkan kuku kekuasaannya dalam jangka panjang. Ikatan ideologi atau emosional tidak lagi mampu atau mempertahankan loyalitas pemilih, jika kekuatan mereka ternyata tidak memberikan apa – apa bagi rakyat. Jargon nasionalisme, bahkan religiusitas tidak lagi menarik bagi rakyat. Kinerjalah yang dilihat oleh masyarakat : kinerja partai, kalau belum berkuasa, dan kinerja pemerintahan saat dia berkuasa sebelum - sebelumnya.
Kursi presiden memang sangatlah bergengsi untuk diraih. Karena itu harus ada jalan untuk menduduki kursi tersebut. Jawaban pintasnya adalah carilah kawan yang bisa diajak berbagi tanpa harus membuatnya merasa besar, ya golkarlah yang mereka cari. Seperti juga golkar mencari mereka, bukan saja untuk membantu mereka aman dan diamankan tetapi juga untuk membantunya untuk merebut posisinya kembali.
Jadi mudah saja memahami gelagat hati yang cemas di balik koalisi ini. Dua kekuatan yang sedang berada di persimpangan jalan yang sedang dilanda kepanikan, mereka akhirnya bersatu untuk saling cegah kehancuran.