Pilkada Artis bukti Rendahnya Kaderisasi Parpol


Pada zaman Pak Harto, tidak sedikit artis yang ikut bersaing di arena politik, sebut saja Rhoma Irama, Titiek Puspa, Camelia Malik dan masih banyak lagi. Lepas zaman Pak Harto, bertambah banyak lagi artis, aktor, dan juga penyanyi yang mencoba menikmati manisnya kue politik. Di DPR saja, saat ini ramai artis dan selebriti yang sedang menikmati empuknya kursi dan gurihnya duit rakyat di Senayan.

Di legislatif nasional, saat ini bercokol beberapa artis seperti Adjie Massaid dan istrinya Angelina Sondakh, Rieke Dyah Pitaloka, Eko Patrio, Tere, Jamal Mirdad, Komar dan beberapa nama artis lainnya. Untuk level eksekutif daerah tercatat nama Rano Karno, Dede Yusuf dan Dicky Chandra sebagai artis yang sukses mendapat posisi penting sebagai pejabat publik. Kemudian belakangan ini, tercatat pula beberapa artis yang akan maju dalam beberapa pemilihan kepala daerah. Sebut saja, Ratih Sanggarwati yang akan maju menjadi calon bupati di Ngawi, Jawa Timur; Ayu Azhari menjadi calon wakil bupati di Sukabumi, Jawa Barat; Emilia Contessa menjadi calon bupati di Banyuwangi, Jawa Timur; Bolot (H Muhammad) sebagai calon Wali Kota Tangerang Selatan, Banten; Ikang Fauzi menjadi calon Wakil Bupati Lampung Selatan ; Julia Perez menjadi calon Wakil Bupati (cawabup) Pacitan, Inul sebagai calon Bupati Malang, Jawa Timur; Maria Eva yang mencalonkan diri menjadi Bupati Kabupaten Sidoarjo; dan terakhir adalah Vena Melinda sebagai calon bupati Blitar, Jawa Timur.

Dicalonkannya artis – artis sebagai kepala daerah maupun wakil kepala daerah adalah konsekuensi dari demokrasi. Dalam demokrasi setiap orang memiliki hak politik yang sama, termasuk menjadi bupati. Baik itu artis, tukang sayur, tukang becak, tukang parkir atau yang lainnya mempunyai kemungkinan untuk mencalonkan atau dicalonkan menjadi calon kepala daerah. Sebagian masyarakat setuju dengan rasionalisasi normatif, bahwa setiap orang memiliki hak untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin publik, termasuk artis.

Masuknya artis di ranah politik, baik itu menjadi anggota legislatif ataupun kepala daerah, bukanlah barang haram. Karena semua warga negara punya hak politik yang sama. Tetapi perlu diingat, dunia politik bukanlah dunia peran layaknya sinetron – sinetron yang biasa mereka lakoni, dunia politik adalah dimana terdapat tanggung jawab yang besar dan tidak main - main. Artis boleh saja mengambil peran dalam penyelenggaraan negara, karena itu merupakan hak warga negara, namun mereka juga harus memiliki kapabilitas, kesiapan mental, kejelasan visi misi serta manajerial waktu.

Alasan para artis terjun ke dunia politik dilandasi oleh "dalih klasik", yakni ingin memperbaiki kehidupan masyarakat. Mereka yang mencalonkan diri di tanah kelahirannya, asal-usulnya, untuk mengabdikan diri pada daerah yang pernah membesarkannya. Mereka juga melihat bahwa senior – seniornya telah sukses menjadi wakil bupati maupun wakil gubernur, sebut saja Rano Karno sebagai Wakil Bupati Tangerang dan Dede Jusuf sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat. Selain itu ada juga karena faktor bahwa dunia entertainment yang selama ini memberi mereka penghidupan sudah tidak menjanjikan lagi. Barangkali saja karena faktor usia, akhirnya membuat mereka tergusur dari dunia keartisan oleh pendatang baru atau pemain lama yang masih bertahan hingga merasa perlu untuk mencari "pijakan" lain. Mereka tentu berpikir dalam mencari lahan yang baru agar kehidupan mereka tetap terjamin dan popularitas mereka tetap terjaga di mata masyarakat. Untuk itulah dengan modal sisa - sisa popularitasnya dan didorong oleh partai politik, mereka terjun ke dunia politik untuk maju sebagai kepala daerah atau wakilnya.

Langkah teman – teman artis untuk maju menduduki jabatan – jabatan politis di tengah masyarakat juga mungkin juga karena ulah beberapa politikus kita yang mengambil sebagian jatah mereka. Sebut saja Ruhut Sitompul, Yusril Ihza Mahendra, Saefulah Yusuf dan beberapa politikus lainnya yang juga ikut menjadi bintang film dan sinetron, seperti layaknya selebritis. Dan tentu kita masih ingat bahwa SBY pun mencoba bakatnya menjadi penyanyi (selebritis) dengan menelorkan beberapa album.

Indonesia memang unik, SBY terpilih menjadi presiden salah satunya adalah karena popularitasnya. Ketika SBY bertanding dalam pemilihan presiden tahun 2004 yang lalu, kendaraan politiknya hanyalah partai baru yang kecil bernama Partai Demokrat. Dalam sejarah republik ini belum pernah ada calon dari partai kecil (baru) yang mampu melaju hingga menjadi RI-1. Tetapi SBY dengan mengandalkan popularitasnya terbukti cukup mampu. Sampai - sampai saking asyiknya menjaga citra dan popularitinya ia dituduh lupa bekerja karena hanya rajin tebar pesona.

Kita juga tentu mengetahui bahwa tidak sedikit artis maupun selebritis yang gagal melenggang di eksekutif maupun legislatif, baik di kancah nasional maupun daerah. Boleh dibilang lebih banyak artis yang gagal dibandingkan yang berhasil. Ternyata modal popularitas saja belum tentu menjamin para artis itu bisa menang. Ada beberapa artis yang belum berhasil dalam pilkada, seperti Saiful Jamil dalam Pilkada Serang, Helmi Yahya dalam Pilkada Sumsel, dan Primus dalam Pilkada Subang. Aktor terkenal sekelas Dedi Mizwar pun dalam pencalonannya sebagai calon presiden ternyata belum banyak mendapatkan dukungan masyarakat dan juga parpol. Tampak bahwa kemenangan seseorang dalam pilkada tidak hanya ditumpang dengan modal popularitas semata, namun juga perlu ditopang dengan modal finansial yang besar. Gubernur Ratu Atut Chosiyah berhasil mengalahkan Marisa Haque dalam Pilkada Banten sebab Atut lebih siap dengan modal finansial.

Dari pengalaman Dede Jusuf, Marisa Haque, dan Helmy Yahya, kemenangan artis dalam pilkada sangat tergantung pada bagaimana kondisi pemerintahan daerah di tempat itu sebelumnya. Dede Jusuf bisa memenangi Pilkada Jawa Barat mungkin karena pemerintahan daerah sebelumnya mengalami kegagalan sehingga masyarakat memerlukan figur baru. Demikian pula Helmy Yahya, kalah dalam Pilkada Sumsel karena berpasangan dengan gubernur incumbent yang dinilai masyarakat saat menjabat berhasil membangun daerahnya sehingga rakyat memilihnya lagi. Sedangkan Marisa Haque kalah dalam Pilkada Banten, mungkin saja karena Atut Chosiyah berhasil membangun Banten sehingga rakyat tetap memilihnya. Dengan demikian, popularitas adalah bukan sebuah faktor utama bagi pihak yang hendak maju dalam pilkada. Faktor modal finansial dan kedekatan dengan rakyat justru merupakan hal yang sangat penting.

Di Amerika Serikat, Ronald Reagan yang juga mantan aktor Hollywood, berhasil menduduki kursi presiden AS selama dua periode. Presiden AS ke-40 ini dinilai sukses, salah satunya karena memiliki semangat untuk terus belajar. Sebelum jadi presiden, putra seorang penjahit ini sempat menjadi tukang cuci piring, komentator olahraga dan pemain footbal, Reagan juga dikenal sangat cepat menangkap isu yang terjadi dan mempunyai wawasan yang cukup luas.

Parpol – parpol yang mencalonkan artis, dinilai oleh pengamat politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Aribowo sebagai parpol yang bingung. “Satu sisi parpol sudah berkali-kali mencalonkan atas dasar kualitas, tetapi tetap saja gagal,” ujarnya. Tak pelak, realitas pahit itulah yang kerap membuat parpol bingung dan berfikir ulang. Karena itu, parpol lebih cenderung memilih figur yang telah dikenal masyarakat, dan pilihannya jatuh pada artis atau selebritis. Padahal, tidak sedikit di antara artis dan selebritis, tersandung kasus moral. Namun begitu, tidak menjadi halangan bagi parpol untuk tetap memilih mereka.

Dengan kemajuan zaman yang kian modern, trend parpol pun lebih pragmatis lagi. Pragmatisme parpol tersebut bisa dilihat dari trend memilih calon yang hanya berdasarkan popularitas dibanding kualitas. Padahal, menurut Aribowo, popularitas belum tentu bisa mendongkrak elektabilitas. Apalagi, jika popularitasnya dari hal - hal yang negatif.

Pengamat Politik Indobarometer, M Qodari juga mengatakan bahwa, “Artis jangan hanya mengandalkan popularitas saja untuk meraih dukungan masyarakat, tetapi harus ditopang dengan kemampuan berpolitik.”
Banyaknya artis yang dicalonkan sebagai kepala daerah dinilai sebagai reaksi instan parpol yang keliru. Ini membuktikan bahwa parpol telah gagal melakukan pengkaderan. "Saya melihat ini adalah langkah instan partai politik karena gagalnya pengkaderan di internal mereka," kata pengamat politik Universitas Airlangga (Unair), Hariyadi. Langkah yang ditempuh partai justru menyedihkan karena menggambarkan kegagalan sistem parpol dan sistem perpolitikan Indonesia. Hal ini merupakan dampak langsung dari kegagalan partai politik dalam melakukan seleksi serius para kader politik sebagai pemimpin bangsa. Inilah bukti bahwa Indonesia memang sedang menghadapi krisis kepemimpinan dari tingkat nasional sampai lokal.

Artis - artis yang masih “hijau” dan lugu dalam dunia politik diiming - imingi angin surga oleh parpol - parpol. Parpol - parpol tersebut menyodorkan anggaran kepada si artis yang lumayan besar untuk kantong partai. Bagi partai - partai kecil, pencalonan artis sebagai calon kepala daerah adalah juga merupakan media kampanye untuk menunjukan bahwa mereka masih eksis. Jadi hal ini bisa dibilang sebagai ajang “curi start” menjelang pesta besar di 2014.

www.pks-dpcpancoran.blogspot.com