Banyak Menteri masih Rangkap Ketua Parpol


Di Indonesia ini selalu ada kecenderungan pejabat publik dihuni oleh para pejabat partai politik. Salah satunya contohnya adalah Kabinet Indonesia Bersatu II 2009 - 2014 yang mana sebanyak 61 % dissi oleh kangan politikus. Masuknya pimpinan partai politik dalam kabinet untuk melakukan ”poligami politik”, membuat terjadinya tumpang tindih kekuasaan antara tugas negara dan tugas partai. Berikut ini adalah para menteri yang berasal dari partai politik tetapi belum meninggalkan jabatan di partainya, di antaranya adalah Menko Perekonomian Hatta Rajasa (Ketua Umum PAN), Menko Kesra Agung Laksono (Wakil Ketua Umum Golkar), Menkum HAM Patrialis Akbar (Ketua DPP PAN), Menteri ESDM Darwin Zahedi Saleh (Ketua DPP Partai Demokrat), Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (Sekjen DPP PAN), Menteri Kelautan/Perikanan Fadel Muhammad (Ketua DPP Golkar), Menakertrans Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB), Menteri Agama Suryadharma Ali (Ketua Umum PPP), Menbudpar Jero Wacik (Ketua DPP Demokrat), MenegPAN & Reformasi Birokrasi EE Mangindaan (Anggota Dewan Pembina Demokrat), Menneg PDT Helmy Faishal Zaini (Wasekjen PKB), Menpera Suharso Manoarfa (Bendahara PPP), dan Menneg Pora Andi Mallarangeng (Ketua DPP Demokrat). Menhub Freddy Number (Anggota Dewan Pembina Demokrat), Menneg Koperasi Syarifudin Hasan (Ketua DPP Partai Demokrat). Kejadian ini sangat terkait dengan sistem politik di Indonesia yang masih memberikan kesempatan rangkap jabatan untuk pejabat publik,

Penjelasan umum pada paragraf 8 dalam UU Kementerian Negara memang baru sebatas menghimbau ataupun harapan, “Bahkan diharapkan seorang menteri dapat melepaskan tugas dan jabatan-jabatan lainnya termasuk jabatan dalam partai politik”. Seorang Hakim Konstitusi, Akil Mochtar memuji tradisi yang dipraktekan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). “Para pengurus PKS yang menjabat sebagai menteri atau pejabat negara lain biasanya mundur secara sukarela menjadi pengurus,” ujarnya. Salah satunya adalah Tiffatul Sembiring yang mundur sebagai Presiden PKS begitu ditetapkan sebagai Menkominfo, begitu juga Hidayat Nur Wahid yang mundur dari Presiden PKS setelah menjadi Ketua MPR periode yang lalu. Jika menteri masih merangkap maka kekhawatiran benturan kepentingan antara partai dan perintah presiden akan selalu muncul. Instruksi dari Presiden itu sifatnya satu arah, kalau posisinya ketua umum partai maka akan repot, mau ikut partai atau presiden?.

Pasal 23 UU Kementerian Negara menyebutkan bahwa, “Menteri Negara dilarang merangkap jabatan sebagai: a. Pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, b. Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta atau, c. Pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah”. Tetapi UU Kementerian Negara di atas masih belum seiring sejalan dengan UU Parpol yang ada, UU Parpol yang ada saat ini belum mengatur pemberhentian seorang anggota parpol dengan segera saat anggota parpol tersebut memangku jabatan sebagai penyelenggara negara, karena berpotensi untuk disalahgunakan oleh parpol sangatlah besar.

Banyaknya menteri yang saat ini masih merangkap jabatan sebagai ketua umum partai politik dapat membuat pelayanan publik menjadi terganggu. Selain itu, parpol yang dipimpin oleh si menteri tersebut juga akan terbengkalai. Jabatan top eksekutif yang terikat keanggotaan suatu parpol akan bisa mempengaruhi dalam pengambilan kebijakan – kebijakan, lebih khusus lagi menjelang masa pemilu. Mereka rela ‘selingkuh’, di samping melaksanakan tugas negara sebagai menteri juga ‘nyambi’ melaksanakan tugas partai. Akhirnya susah membedakan dan memisahkan antara tugas partai dan tugas negara, terutama ketika musim pemilu tiba. Ujung - ujungnya akan terjadi penyalahgunaaan fasilitas dan uang negara untuk kepentingan partainya. Waktu yang seharusnya hanya untuk mengabdi bagi nusa dan bangsa akan menjadi berkurang karena harus memikirkan partai politiknya juga.

Yang terbaik seharusnya adalah memisahkan jabatan publik dengan jabatan politik, sehingga ketika seseorang memasuki kawasan jabatan publik maka jabatan politiknya harus dilepaskan. Jabatan politik di dalam wilayah publik sangat rawan menimbulkan masalah. Pilihan politik sering membuat sekat antar individu atau golongan menjadi rumit. Sebagai contohnya adalah konflik antara Soeryadi dengan Megawati, Bursah dengan Zainal Maarif, Gus Dur dengan Muhaimin, Amin Rais dengan Sutrisno Bachir, JK dengan Akbar Tanjung dan sebagainya. Di dalam dunia politik, konflik adalah bumbu penyedapnya, sehingga konflik justru dapat menumbuhkan dinamika. Dalam perspektif teori konflik fungsional, konflik justru menumbuhkan dinamika sosial.

Oleh karenanya sungguh sangat ironi dan tak masuk akal jika kabinet yang sudah terisi banyak ketua umum partai ini, kemudian akan ditambah lagi dengan majunya seorang menteri yang mencalonkan diri sebagai ketua umum partai, yang kabarnya juga didukung oleh anak (keluarga) orang nomor satu di negeri ini. Ketua umum partai biasanya hanya dijadikan alat untuk memperkuat posisi seseorang. Peneliti CSIS Thomas Aquinas Legowo berpendapat bahwa rangkap jabatan sebagai ketua parpol berpotensi untuk menyalahgunakan wewenang karena terdapat dua kepentingan di sana, yaitu sebagai pejabat dan pengurus partai politik. Ia juga mengemukakan, menteri yang masih merangkap sebagai ketua parpol tertentu mengindikasikan bahwa parpol tersebut tidak memiliki sistem kaderisasi dan regenerasi yang baik. Sementara pakar tata negara Universitas Andalas Saldi Isra menuturkan rangkap jabatan eksekutif dan ketua parpol akan membawa ancaman kemandirian terhadap lembaga legislatif, khususnya terhadap anggota dewan yang berasal dari parpol yang dipimpinnya. Sedangkan Sekjen Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang, mengatakan bahwa rangkap jabatan ketua umum parpol dan pejabat publik akan dapat mengganggu kinerja keduanya. Jika seorang kader parpol bergabung di pemerintahan, mereka seharusnya lepas total dan hanya menjadi anggota biasa dari partai politik.

Satu lagi yang menarik bahwa partai politik yang ketua umumnya merangkap jabatan di pemerintahan, pada pemilu 2009 kemarin tidak selalu mampu menaikan perolehan kursi di legislatif. PKS dengan Presiden Partainya Tifatul Sembiring berhasil menaikkan kursi DPRRI pada Pemilu 2009 menjadi 57 kursi dibandingkan perolehan kursi Pemilu 2004 yang memperoleh 45 kursi. Partai Demokrat yang dipimpin oleh Ketua Umumnya Hadi Utomo juga naik secara sangat signifikan perolehan kursinya di Pemilu 2009 sebesar 148 kursi dibandingkan Pemilu 2004 yang memperoleh kursi sebesar 56 kursi. Oleh karenanya perlu dipertimbangkan lebih mendalam dan matang tentang posisi Ketua Umum Partai Politik yang merangkap jabatan dengan jabatan di Pemerintahan Pusat (Presiden, Wakil Presiden dan Menteri) karena sangat berpotensi untuk menurunkan kursi legislatif partai politiknya di pemilu legislatif.

www.pks-dpcpancoran.blogspot.com