Meninjau Ulang Pembangunan Mal di Jakarta

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) A Stefanus Ridwan mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang semakin tinggi dan beragam, kawasan Jabodetabek membutuhkan sedikitnya 400 pusat perbelanjaan baru. Hal ini menurut beliau, didasari pada perkembangan Jabodetabek yang makin pesat yang tentunya akan menjadi pendorong bertumbuhnya pusat-pusat perbelanjaan baru di Jakarta dan beberapa daerah penyangga, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Apalagi, jumlah penduduk Jabodetabek yang di siang hari mencapai lebih dari 20 juta, menjadi pesona kalangan investor untuk mengucurkan dananya di sektor pusat belanja. Bayangkan jika satu pusat perbelanjaan di Jakarta per hari mencapai 30 ribu orang maka kebutuhan pusat perbelanjaan baru yang akan timbul tentunya sangat banyak. Beliau membandingkan dengan Singapura, ”Di Singapura, pusat perbelanjaan itu jaraknya sangat berdekatan, malahan nempel" katanya. Pusat perbelanjaan Sarinah yang merupakan pusat perbelanjaan pertama di Jakarta didirikan atas inisiatif Presiden Soekarno saat itu, untuk menandingi pusat perbelanjaan yang ada di Singapura.

Hingga 2007, jumlah mal di Indonesia kurang lebih mencapai 180 unit. Sedangkan sampai akhir tahun 2008, di jakarta sudah ada sekitar 60-an mal. Menurut APPBI untuk rencana kedepan akan beroperasi lagi belasan mal yang lain yang jumlahnya akan mencapai 90-an mal. Mal – mal baru tersebut diantaranya adalah Mal of Indonesia, Grand Indonesia, Mal Kelapa Gading V, Gandaria Main Street, Kota Casablanca, dan Pasific Place. Harapannya menurut ketua APPBI, orang Indonesia tidak akan lagi banyak yang belanja di luar negeri. Pada tahun 2003 pengeluaran orang Indonesia untuk belanja di Singapura mencapai Rp 6 triliun, dan angka ini setiap tahun naik terus.

Penambahan ijin pembangunan mal dari pemerintah daerah, khususnya DKI akan mengakibatkan kepadatan kota Jakarta akan semakin bertambah pada tahun - tahun mendatang. Betapa tidak, dua tahun ke depan akan ada sekitar 13 proyek pusat perbelanjaan baru. Berdasarkan hasil riset Procon Indah menyebutkan bahwa luas pusat perbelanjaan di Jakarta akan mencapai 3,33 juta m2. 40 persen penambahan pusat perbelanjaan akan berada di Jakarta Utara, 20 persen akan berada di Jakarta Selatan dan 18 persen di Central Business District (CBD) Jakarta, sementara sisanya akan tersebar di berbagai daerah di Jakarta lainnya.
Pertumbuhan mal di Jakarta seperti cendawan di musim hujan. Tempat-tempat strategis menjadi rebutan para pengusaha pusat perbelanjaan. Bahkan wilayah yang sebenarnya diperuntukkan bagi kawasan perkantoran dan bisnis, juga tak luput dari ”jarahan” para pengusaha pusat perbelanjaan. Ujung - ujungnya bisa ditebak, kemacetan menjadi - jadi dan masyarakat harus sengsara menghadapinya. Lihat saja ITC yang sudah berdiri di kawasan Mega Kuningan dan Plaza Semanggi yang tengah dibangun di bekas Gedung Sarbini persis di sebelah Universitas Atmajaya, Su-dirman. Kedua kawasan ini telah dan akan menimbulkan masalah kemacetan yang semakin ruwet di DKI Jakarta.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Jakarta Ganda Hutabarat menilai, banyaknya pusat perbelanjaan yang ada di Jakarta saat ini, sudah mengkhawatirkan. Kehadiran pusat perbelanjaan besar akan mematikan pedagang-pedagang kecil maupun pasar - pasar tradisional. Pemda DKI harus meninjau ulang perencanaan tata kota. Peraturan daerah (Perda) No 2 Tahun 2002 mengenai 20% lahan pusat perbelanjaan (mal) yang diperuntukan bagi pedagang kaki lima, tidak berjalan semestinya. Mal membuat masyarakat Jakarta menjadi sebuah komunitas yang konsumtif dan westernized.

Pembangunan pusat - pusat belanja di Jabodetabek yang tak terkontrol juga merupakan salah satu penyebab terjadinya banjir di Ibukota. Oleh karenanya, seharusnya Pemprov DKI tidak mudah mengeluarkan izin pembangunan pusat perbelanjaan. Jangan karena kepentingan sesaat, DKI akan rugi selamanya. Saat ini mal telah memenuhi tiap sudut kota ini dengan beton dan semen, inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa banjir selalu menghantui Jakarta tiap kali hujan mengguyur.

Dampak nyata yang lain dari meningkatnya jumlah dan luasan pusat perbelanjaan di Jakarta adalah makin hilangnya daerah resapan air di kota ini. Pengalihfungsian kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan daerah resapan air lainnya menjadi pusat perbelanjaan adalah fakta yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah gelap pembangunan kota Jakarta.
Hutan kota di kawasan Senayan, misalnya. Rencana Induk Jakarta 1965-1985 memperuntukkan kawasan seluas 279 hektare ini sebagai ruang terbuka hijau. Di atasnya hanya boleh berdiri bangunan publik dengan luas maksimal sekitar 16 persen dari luas total. Namun, di kawasan itu kini telah muncul Senayan City (pusat belanja yang dibuka pada 23 Juni 2006), Plaza Senayan (pusat belanja dan perkantoran, dibuka 1996), Senayan Trade Center, Ratu Plaza (apartemen 54 unit dan pusat belanja, dibangun pada 1974), dan bangunan megah lainnya. Begitu juga kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, yang semestinya daerah resapan air, kini dibangun pusat perbelanjaan megah.

Padahal data dari Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta menyebutkan bahwa menyusutnya daerah resapan air, baik berupa situ maupun ruang terbuka hijau, oleh aktivitas pembangunan telah menyebabkan dari 2.000 juta per meter kubik air hujan yang turun di Jakarta tiap tahun, hanya 26,6 persen yang terserap dalam tanah. Sementara itu, sisanya, 73,4 persen, menjadi air larian (run off) yang berpotensi menimbulkan banjir di perkotaan.

Bukan hanya itu, pengambilan air tanah secara besar-besaran ditambah beban bangunan di atas kota Jakarta telah menyebabkan penurunan permukaan tanah di kota ini beberapa sentimeter dalam setiap tahunnya. Artinya, potensi banjir di Jakarta akan semakin besar dengan penambahan pusat - pusat perbelanjaan baru.

Oleh karenanya perlu digalakan kembali pembangunan yang berkeadilan, pembangunan yang berwawasan lingkungan. Jangan sampai Jakarta ini menjadi daerah yang salah urus. Saatnya benahi Jakarta dengan memilih caleg yang lebih bersih.

By Ahmad Sahal (Tokoh Pancoran)