Antara Kecurangan DPT Pilkada DKI dan Jatim


Pilkada Jakarta adalah "rekor" dimana jumlah partai pendukung salah satu pasangan, yaitu Fauzi Bowo - Prijanto yang mencapai 20 partai politik. Inilah fenomena baru dalam dunia perpolitikan dan berhak dianugerahi rekor Museum Rekor Indonesia (Muri) karena dua puluh partai politik melawan satu partai politik.

Namun pilkada Jakarta juga merupakan salah satu bukti serta contoh yang tidak baik dari perilaku penyelenggara pilkada, yaitu Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta saat itu, khususnya pada aspek pendaftaran pemilih. Hasil audit beberapa lembaga pemantau seperti LP3ES dan NDI menunjukan sekitar 20 persen dari pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) merupakan “pemilih hantu" (pemilih fiktif). Di sisi lain sekitar 20 persen penduduk Jakarta yang berhak memilih ternyata tidak terdaftar dalam DPT yang dibuat penyelenggara pilkada.

Persoalan DPT dalam Pilkada DKI yang dilaksanakan bulan Agustus 2007 saaat itu telah menjadi isu besar. Persoalan pendataan pemilih di Pilkada DKI mulai panas ketika tahapan pilkada sudah memasuki fase pemutakhiran Daftar Pemilih Sementara (DPS) menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sesuai tahapan pilkada DKI, perbaikan DPS Pilkada DKI berakhir pada tanggal 13 Juni 2007. Artinya, setelah tanggal 13 Juni, pendaftaran pemilih sudah tertutup sebab KPUD DKI segera memverifikasi DPS menjadi DPT dan menetapkan DPT pada tanggal 19 Juni 2007.

Isu inilah yang kemudian mendorong salah satu lembaga pengawas untuk pilkada DKI, yaitu Pilkada Watch (PW) saat itu melaporkan KPUD DKI Jakarta ke Polda metro Jaya atas dugaan tidak transparannya pilkada. Dalam laporannya, Pilkada Watch (PW) menuduh KPUD DKI telah melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan. KPUD hanya memberi perpanjangan pendaftaran tambahan dua hari, hal itu sangat tidak mencukupi.

Lembaga pengawas menemukan banyak kejanggalan pada DPT. Beberapa indikasinya adalah adanya nama calon dengan alamat domisili yang sama, duplikasi tanggal lahir dan domisili tempat dari pemilih yang tidak jelas. Bahkan, ada beberapa nama yang sudah meninggal namun masih tercantum sebagai pemilih. Denga kata lain masih banyak pemilih gelap, ada ghost voters (pemilih siluman) yang ikut men­coblos di beberapa TPS. Di beberapa tempat ditemukan banyak nama dobel dalam daftar DPT. Di satu TPS di Matraman, satu orang terdaftar dengan lima nama, kejadian serupa juga ditemukan di wilayah Pengadegan, Utan Kayu, dan di Jakarta Barat.

Banyak bukti juga ditemukan di lapangan saat pencoblosan, di TPS 14 Kelurahan Kebon Melati, Ta­nah Abang, Jakarta Pusat, 23 orang yang tidak terdaftar da­lam Daftar Pemilih Tetap (DPT), ternyata bisa ikut men­coblos. Ada pula di TPS 03 Setia Budi, Jaksel, seorang pemilih, diduga kuat mengunakan kartu pemilih ghost voters, pasalnya, nama yang tertera di kartu pe­mi­lih berbeda dengan nama asli­nya yang tertera di KTP. Di salah satu TPS di Cipinang Muara, seorang pemilih mengaku namanya menghilang dalam daftar DPT, sehingga tidak bisa ikut memberikan suaranya.

Hal ini juga diamini oleh koordinator Jaringan Pen­didikan Pemilih Untuk Rak­yat (JPPR), Jerry Sumampouw, da­ri pemantauan seribu rela­wan JPRR di wilayah DKI, di­te­mukan pelanggaran saat pencoblosan. Ada warga yang tidak tercantum dalam DPT dan ha­nya memakai KTP bisa men­coblos. Di TPS 103 Pen­ja­ri­ngan, Jakarta Utra. Panitia KPPS memberikan izin kepada warga yang hanya memiliki KTP untuk mencoblos.

Hanya massa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa masih ada sekitar 6000-an kader PKS yang belum didaftar sebagai pemilih dalam pilkada DKI saat itu. Tak pelak, para kader PKS pun kemudian mengajukan protes ke KPUD. Pada prinsipnya, mereka meminta tahapan Pilkada khususnya tahapan pendaftaran pemilih diperpanjang waktunya, untuk mengakomodir warga yang belum terdaftar. Namun pihak KPUD Jakarta tak bergeming, karena KPUD Jakarta merasa telah melakukan proses sosialisasi yang baik sehingga tidak ada alasan yang signifikan untuk memperpanjang masa pendaftaran pemilih. Sebab perpanjangan mengakibatkan agenda pilkada selanjutnya menjadi kacau, sebab KPUD memerlukan kepastian data untuk memperlancar proses pengadaan logsitik Pilkada.

Oleh karenanya upaya yang dilakukan warga, termasuk kader PKS untuk meminta DPT di PPS - PPS karena mereka ingin mengetahui apakah ghost voter itu masih ada atau sudah dihapus. Di beberapa tempat memang ada PPS yang kooperatif namun ada juga yang menghalang-halangi. Beberapa PPS mengatakan bahwa DPT adalah dokumen negara, sehingga salinannya tidak bisa diperoleh. DPT bukanlah dokumen negara melainkan dokumen publik dan setiap orang mempunyai hak untuk mengaksesnya.

Dari DPT yang berhasil didapat PKS di sejumlah PPS ternyata terbukti bahwa DPT tersebut ternyata memang tidak beres, banyak ghost voter yang namanya masih terpampang dalam DPT.

Adakah komentar tokoh – tokoh negara ini yang menentang perilaku ketidakprofesionalan KPUD DKI saat itu? Hampir semuanya bungkam melihat kedzaliman yang telah dibuat KPUD saat itu, termasuk juga panwaslu DKI saat itu. Semua petinggi partai diam menyaksikan skenario itu,mereka justru menikmati kecurangan politik ini. Termasuk gubernur berkuasa saat itu juga enggan menanggapi isu pemilih siluman ini. Tapi apa yang kita lihat sekarang, begitu banyak tokoh nasional berkomentar tentang isu pemilih siluman di DPT pilkada Jawa Timur, termasuk mantan gubernur DKI pun berkomentar. Mereka semuanya sepertinya sepakat untuk mengangkat isu DPT pilkada Jawa Timur sebagai sarana untuk memundurkan pemilu 2009. Memang ketika kebanyakan orang menkmati hasil jerih payah dari kejahatan politik sepertinya pelanggaran pun patut untuk dibiarkan, karena dampaknya tidak ia rasakan. Tetapi ketika ketika pelanggaran itu menimpa dirinya maka ramai – ramailah berteriak tentang ketidakadilan tanpa merasa dulu juga mereka pernah melakukannya pada yang lain. Politik standar ganda inilah yang semestinya masyarakat ketahui bahwa inilah awal dari sebuah kebohongan partai politik yang dipertontonkan secara kasat mata kepada publik.