KITA TIDAK MENGKAFIRKAN ORANG MUSLIM TANPA ALASAN YANG JELAS

Oleh Muhammad Ahmad ar-Rasyid dalam al-Munthalaq
Ibnu Taimiyah berkata, “Banyak orang salaf yang mengatakan,’Ada kekafiran di bawah kekafiran (yang sebenarnya),kemunafikan di bawah kemunafikan (yang sebenarnya), dan kemusyrikan di bawah kemusyrikan (yang besar)’.” 1
Kemaksiatan – kemaksiatan itu banyak dan bertingkat – tingkat. Di antarnya ada yang kecil dan ada yang besar, dan ada yang tengah – tengah. Imam Bukhari rahimahulullah pernah berkata, “ Kemaksiatan – kemaksiatan itu termasuk perkara jahiliyah, dan pelakukanya tidak dianggap kafir kecuali jika dia mempersekutukan Allah dengan yang lain, mengingat sabda Nabi Muhammad SAW, “ Sesungguhnya engkau adalah orang yang memiliki perangai jahiliyah.” 2
Argumentasi Imam Bukhari dengan sabda nabi yang mulia ini sangat tepat, dan orang yang menjadi sasaran sabda beliau waktu itu adalah Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabatbesar, ketika dia mencela Bilal karena Ibunya berkulit hitam.
Jadi, sebuah maksiat adalah cabang dari Kejahiliyahan. Setiap bertambah kemaksiatan seorang muslim maka bertambah pulalah perangai jahiliyahnya. Akan tetapi tidak beralih menjadi jahiliyah total (keluar dari islam) kecuali jikia mempersekutukan Allah di dalam ibadah atau aqidah, dengan meyakini halalnya sebagian dari sesuatu yang diharamkan Allah atau meyakini haramnya sebagian dari sesuatu yang dihalalkan Allah, atau beriman kepada sebagian rukun iman dan kafir kepada sebagiannya.
Inilah rahasinya mengapa Nabi Muhammad SAW melarang keras seseorang mengkafirkan orang yang telah menyatakan keislamannya. Belaiu bersabda, “ Siapapun orang yang memanggil saudaranya dengan panggilan,’Wahai orang kafir!’ maka predikat kafir itu kembali kepada salah satu dari dari keduanya. Kalau yang disebut kafir itu memang kafir, maka tepatlah apa yang dikatakannya itu; akan tetapi jika tidak, maka predikat kafir itu kembali kepada yang menyebut kafir itu.” 3
Ini pula rahasia mengapa Imam Hasan Al-Banna sangat berhati –hati terhadap hal itu. Di dalam al-Ushul al-Isyrun beliau mengatakan, “ Kami tidak mengkafirkan orang Muslim yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, mengamalkan tuntutan – tuntutannya, menunaikan kewajiban-kewajiban, kecuali jika ia telah mengikrarkan pernyataan kafir, atau mengingkari apa yang sudah diketahui secara pasti dari agama, atau mendustakan Al-Qur’an yang sangat jelas, atau menafsirkannya dengan cara yang sama sekali tidak sesuai dengan aturan Bahasa Arab, atau melakukan suatu tindakan yang tidak dapat diartikan lain selain kafir.” Begitulah pemahaman yang tertera dalam syarah al-Iraqi terhadap al-Ushul al-Isyrun. Perkataannya, “ Mengkafirkan orang Muslim dengan cara yang dapat mengeluarkannya dari Islam itu sangat membahayakan.”
Jika ia mengucapkan suatu perkataan atau melakukan suatu perbuatan yang mengandung takwil (yakni nengucapkan atau melakukan perbuatan itu bukan karena sengaja hendak mengingkari ajaran islam, melainkan karena melakukan pentakwilan), maka kami tidak mengkafirkan nya karena perkataan atau perbuatnnya itu. 
Adapaun mengkafirkan orang tertentu, maka harus didasarkan atas sesuatu yang meyakinkan akan kekafirannya, seperti misalnya mengingkari kewajiban shalat. Demikian pula harus kita ketahui bahwa kafir itu ada dua macam : Kufur kecil yang tidak sampai mengeluarkan pelakukanya dari islam dan kufur besar yang mengeluarkan pelakunya dari islam. 4
1.        Majmu Fatawa Ibni Taimiyah, Jilid 12, hlm. 239
2.        Shahihul-Bukhari, Jilid 1, hlm. 15
3.        Shahih Muslim, Jilid 1, hlm. 57
4.        Syarhul-Ushulil-Isyrin, hlm. 55