Operasi Intelijen, Media dan Pemilu

Menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, persekongkolan antara peserta pemilu dengan media massa haruslah diwaspadai. Konspirasi tersebut bisa menjadi hal yang mengerikan dan berdampak luar biasa bagi masyarakat. Konspirasi media massa dan politik adalah konspirasi paling mengerikan.

Sikap media seharusnya adalah profesional yang mengacu pada kode etik jurnalistik, netral, independen, memberikan porsi, dan kesempatan sama kepada kontestan, berpegang pada undang-undang dan peraturan yang ada, serta mengutamakan fungsi pendidikan politik. Kalau sampai terjadi bias dalam pemberitaan, maka peran media massa sebagai lembaga informasi, pendidikan, dan kontrol sosial akan terdistorsi dan membawa cacat demokrasi.

Kode etik pers menjadi rel bagi media untuk tetap dapat bersikap independen. Wartawan harus dapat bersikap independen dan bukan melacurkan diri kepada para kontestan. Media massa harus fokus merekam jejak calon dan parpol. Media massa harus bisa memberikan informasi mengenai masing-masing calon dan parpol supaya rakyat tidak terjebak seperti membeli kucing dalam karung.

Wartawan senior Djafar Assegaf menilai bahwa pers bebas dan demokrasi sama halnya dengan dua sisi mata uang, yang saling terkait. Pers bebas diperlukan untuk menghidupi demokrasi dan demokrasi juga harus menjaga kepentingan pers bebas. Wartawan diatur oleh kode etik jurnalistik dan politisi diatur oleh kapatuhan politik.

Memang media massa dalam pemilu tidak bisa netral 100 persen walaupun media telah memberikan porsi yang sama kepada para peserta pemilu. Hal ini diakui sendiri oleh Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat Sasongko Tedjo. Sasongko mengatakan bahwa tidak bisa netralnya media karena ada naluri jurnalistik yang berkembang sesuai alurnya seperti mengedepankan berita yang memiliki nilai berita yang disajikan dan ketokohan partai.

Sikap independen dan netral, merupakan tantangan buat media karena kenyataannya media massa dan wartawan akan menjadi ajang perebutan dari partai peserta pemilu. Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal menegaskan, untuk menghindari benturan kepentingan pada pemilu 2009, dan pelanggaran prinsip etika jurnalisme, wartawan harus selalu bersikap adil, seimbang, dan independen dalam setiap pemberitaan.

Namun patut disayangkan apabila sampai saat ini masih terdapatnya media massa yang telah "melacurkan" diri untuk menulis berbagai berita yang tidak netral dan condong terhadap pihak politisi yang membayar atau memberikan dana kepada media tersebut.

Pemberitaan media tidak bisa benar-benar dilepaskan dari mind set pemilik modal. Menjelang pemilu seperti sekarang ini tidak sedikit lembaga donor yang mengucurkan banyak dana bagi kalangan pers untuk mengawasi pemilu. Keterlibatan pers dalam pemilu sudah sewajarnya adalah mengawasi dan melaporkan pemilu sehingga terasa naif jika ada donasi untuk kegiatan tersebut. Tidak didanai pun mereka memang harus melakukan pekerjaan itu.

Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara menekankan bahwa pers harus dapat bersikap independen. Media harus taat terhadap mottonya, maju tak gentar membela yang benar, bukan membela yang bayar. Jurnalisme yang tidak taat kode etik disebut sebagai “jurnalisme kuda”, yakni isi media sesuai dengan pesanan penunggang kuda.

Seperti telah diketahui bersama, terakhir – terakhir ini berita tentang PKS sungguh – sungguh sangat bombastis. Ada yang memberitakan anggota PKS ketangkap sedang berhubungan intim dengan perempuan di sebuah panti pijat, setelah di-crosscheck ternyata tidak benar anggota PKS melakukan hubungan intim tetapi hanya melakukan pijat saja (walaupun hal ini sangat tabu di dalam organisasi PKS). Kemudian diberitakan lagi kader PKS yang menjadi gubernur Jawa Barat yaitu Ahmad Heryawan mengeluarkan SK untuk pelarangan terhadap tarian jaipong yang merupakan kebudayaan asli Jawa Barat. Isu yang muncul pertama di facebook itu pun diklarifikasi oleh Ahmad Heryawan sendiri maupun pihak Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Kadisparbud) Jawa Barat, Herdiawan Iing Suranta, “Bahwa Gubernur Jabar tidak pernah dan tidak akan melarang pertunjukan tari Jaipong di bumi Jabar. Pak Gubernur hanya mengimbau agar semua tarian, jadi tidak hanya tari Jaipong, memperhalus gerakannya dan pakaiannya tidak lekbong (kelek katembong/kelihatan ketiak). Ini karena Pak Gubernur juga mendapat informasi bahwa dulu sekitar tahun ‘80-an, tari Jaipong muncul dengan pakaian kebaya yang lebih tertutup dan tetap terlihat indah. Namun, seiring perkembangan budaya sekarang ini, tarian banyak yang jadi serba ‘terbuka’”. Yang terakhir adalah pemberitaan bahwa PKS Depok akan melakukan kegiatan khusus menyambut hari valentine (14 Februari). Yang sebenarnya adalah bahwa PKS Depok tidak pernah mengatakan akan mendukung atau bahkan merayakan valentine, berita tersebut dipelintir oleh wartawan sebuah media online. Semula adalah wawancara antara PKS Depok Ust Rahman Yadi dengan wartawan seputar agenda PKS menjelang pemilu, salah satunya adalah aksi ketok sejuta pintu warga, kemudian disinggung untuk segmen pemuda bagaimana, “oiya tentu PKS juga sangat konsisten dengan segmen ini”. Kemudian wartawan bertanya “bagaimana dengan tanggal 14 Feb besok (valentine)”, kemudian Ust Rahman Yadi dari PKS Depok menjawab “oiya tentu kita PKS sudah rutin membagikan brosur setiap Sabtu dan Ahad”. Namun kemudian berita yg muncul adalah berbeda.

Kalau dilihat dari runtutan waktu serta lokasi terjadinya, terlihat seperti ada sebuah skenario besar untuk menyudutkan PKS melalui pemberitaan media. Hal ini juga di amini oleh Suripto (mantan kepala BAKIN), beliau mencium adanya operasi intelijen terhadap PKS. Operasi ini dilakukan intelijen asing yang menyebarkan kabar tidak sedap tentang partai dakwah ini.

"Kalau sinyalemennya, ada upaya dari intelijen asing yang mencoba untuk memberikan berita yang kurang baik terhadap PKS," ujarnya di sela-sela RDP antara Komisi III dengan KPK di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (11/2/2009).

Perlu diketahui bahwa operasi intelijen itu ada tiga perangkat. Pertama, mereka melakukan black propaganda alias propaganda bohong-bohongan saja. Kedua, white propaganda alias propaganda yang jujur dan terakhir adalah gray propaganda yaitu propaganda yang seolah – olah benar atau jujur.

Masyarakat memang harus berperan aktif untuk memantau kinerja pers dalam peliputan pemilu. Jika masyarakat melihat terjadinya bias pers dan penyalahgunaan profesi wartawan, masyarakat jangan ragu untuk mengingatkan per situ atau mengadu ke dewan pers.

Banyak pihak saat ini berkonsentrasi ke pengawasan pemilu, baik dari kalangan pemerintah, LSM, maupun organisasi funding. Tetapi hampir tidak ada yang memikirkan bahwa pemberitaan media juga perlu diawasi. Pemantauan dan pengawasan itu diperlukan untuk mencegah media massa bertindak sewenang - wenang melakukan abuse of power.

Untuk langkah awal, pertama masyarakat harus bisa membedakan antara media massa yang independen secara struktural dengan media yang memang memiliki ikatan dengan peserta atau pihak yang berkepentingan langsung dengan pemilu 2009. Untuk media massa yang nyata - nyata berafiliasi dengan parpol tertentu maka masyarakat akan disuguhi berita yang tidak netral. Ada dua jenis media yakni media profesional dan media partisan, tetapi tidak ada media yang secara terang - terangan mendukung salah satu partai peserta pemilu, media lebih memilih berada di wilayah abu-abu. Banyak media lebih memilih menjadi media profesional, karena risikonya terlalu berat.

Dirangkum dari beberapa sumber.
www.pks-dpcpancoran.blogspot.com