Iklan Politik Itu Tidak Murah



Pada Pemilu 2004 total biaya iklan politik mencapai Rp 400 miliar. Kemudian Nielsen Media Indonesia mencatat biaya iklan pemerintahan dan politik tahun 2008 telah mencapai Rp 2,208 triliun, atau naik 66 persen dibandingkan dengan tahun 2007 yang hanya Rp 1,327 triliun. Rizal Subiakto, CEO Hotline Advertising mengakui bahwa ketika menangani kampanye SBY-JK pada pemilu 2004, dia menghabiskan dana sekitar Rp 30 miliar. Sementara kampanye pasangan cagub DKI Fauzi Bowo menghabiskan dana sekitar Rp 20 miliar. Subiakto juga menjelaskan bahwa belanja iklan Indonesia di tahun 2007 adalah sekitar 40 triliun rupiah dan sekitar 10 triliun (25 persen) adalah belanja iklan politik. Tahun 2008 dan 2009 iklan politik ini akan meningkat 3 sampai 4 kali lipat lebih besar dari tahun 2007. Sementara Irfan Wachid dari 25frame Indonesia Production mengatakan seorang politikus nasional akan menghabiskan Rp 5 - 10 miliar/bulan untuk biaya poles diri dan poles senyum di hadapan rakyat pemilihnya. 

Majalah Fortune memperkirakan total dana kampanye untuk pemilu di Amerika mencapai USD 3 miliar. Oleh karenanya agak tepat apa yang dikatakan seorang konsultan politik Indonesia, Rizal Malarangeng di Jawa Pos, “Demokrasi memang mahal, Bung!”. Iklan memang mahal, dalam kondisi ekonomi rakyat yang masih terpuruk seperti sekarang, seharusnya tidak etis jika menghamburkan uang hanya untuk beriklan. Masyarakat akan lebih mengingat tindakan langsung seperti kerja – kerja sosial yang mereka terima. Seperti yang diungkapkan pengamat politik CIDES, Indria Samego, yang menilai iklan politik sebagai hal yang tidak etis di tengah ancaman meluasnya dampak krisis finansial global. 

Semakin dekat saat pemilu 2009, semakin banyak partai politik (parpol) dan juga capres menggelontorkan dana mereka untuk membuat iklan politik. Maraknya penayangan iklan politik dinilai oleh sejumlah pengamat sebagai bentuk manipulasi politik yang tidak mendidik masyarakat. Pengamat politik asal Universitas Gadjah Mada, Purwo Santoso, mengatakan, ”Secara struktural iklan merupakan konsekuensi atau kebutuhan dari parpol, tetapi biayanya tidak harus dalam bentuk gelontoran uang miliaran rupiah. Tetapi cukup dengan kerja-kerja konkret membantu masyarakat sebagai calon konstituen mereka”. Dia menambahkan, jika memang parpol telah maksimal melaksanakan kerja-kerja sosial itu, seharusnya mereka tidak perlu khawatir kehilangan simpati masyarakat, dan tidak lagi membuat iklan yang banyak menelan biaya. 

Sampai saat ini belanja iklan politik parpol dan pemerintah untuk pemilu 2009 hingga saat ini sudah mencapai Rp 800 miliar. Jumlah tersebut diperkirakan bakal bertambah seiring dengan semakin dekatnya waktu pemilu. Wakil Direktur Eksekutif Lembaga Pemenangan Pemilu Partai Golkar Jeffrie Geovanie menyebutkan akan terus menambah frekuensi iklan hingga pelaksanaan pemilu. ”Jika modal iklan kami 100 persen, maka sebanyak 15 persen dipakai pada bulan Januari, 30 persen dibelanjakan pada Februari, dan sisanya, 55 persen, pada bulan Maret,” katanya. Sementara di lain pihak PKS menampilkan strategi iklan yang lebih “kreatif” dengan sedikit iklan di televisi tetapi memperbanyak kerja sosial (baksos) di tengah masyarakat. Presiden PKS, Tifatul Sembiring mengakui ketiadaan modal besar membuat PKS harus ekstra kreatif dalam beriklan. Karena keterbatasan dana itu pula, PKS hanya menayangkan iklan hanya beberapa hari saja. “Punya 1 miliar rupiah saja sudah bagus,” ujar Tifatul sambil tertawa.

Jika rata-rata biaya beriklan secara excessive di sebuah stasiun TV per harinya adalah Rp 500 juta, maka per bulannya adalah Rp 15 milyar. Sutrisno Bachir dan Rizal Malarangeng adalah contoh dua calon yang beriklan di TV secara excessive. Ketua Umum PAN itu menghamburkan uang sampai Rp300 miliar untuk beriklan. Itu baru hanya untuk satu stasiun TV saja, silahkan kalikan dengan 10 stasiun TV. Angka ini hanya untuk di media TV saja, belum termasuk media lain seperti, radio, internet, bioskop, baliho, spanduk, bendera, kalender, brosur, kaos, dan material kampanye lainnya. Kampanye tahap awal ini hanya sekadar untuk menciptakan awareness. 

Untuk billboard berukuran sekitar 4 meter persegi, biayanya sekitar Rp. 2 Juta (tergantung wilayah) selama setahun. Belum lagi biaya pengerjaan yang dikeluarkan. Asumsikan seorang politisi atau parpol memasang 500 papan iklan seluas 4 meter persegi di satu kabupaten selama 2 bulan, dengan hitungan kasar maka ia akan mengeluarkan biaya sekitar Rp.160 juta. Untuk media cetak, sebuah koran nasional bergengsi mematok tarif Rp 80 juta untuk satu halaman penuh hitam-putih. Untuk harian Kompas biayanya bisa mencapaiu lebih dari Rp. 75 juta. Jika iklan muncul dalam warna, tarifnya Rp 150 juta. Iklan berwarna di halaman pertama lebih mahal lagi karena sifatnya yang eye-catching dan bisa mencapai Rp 100 juta untuk ukuran kecil saja. Untuk biaya iklan di televisi, seorang Sutrisno Bachir menurut kabar menghabiskan sekitar Rp 15 milyar setiap bulannya. Untuk daerah Jakarta, satu spot di televisi berdurasi 30 detik, paling murah Rp 20 juta. Untuk talk show selama satu jam seorang politisi minimal harus mengeluarkan Rp 1,5 miliar. Menurut Associate Media Director Hotline Advertising Zainul Muhtadin bahwa pada pemilu 2004 biaya iklan kampanye Rp 60-100 miliar per calon, tetapi saat ini minimal setiap calon harus menyiapkan Rp 100 miliar. Televisi masih akan menjadi pilihan utama penempatan iklan kampanye, sekitar 90 persen target audiens bisa di-cover oleh televisi.

Biaya ratusan milyar rupiah habis dalam beberapa bulan saja. Jadi bayangkan dalam 1 tahun berapa biaya yang dikeluarkan oleh seorang calon pemimpin di negeri ini, dan berapa biaya yang dikeluarkan oleh beberapa orang calon, misalnya 5 orang calon. Lebih dari Rp 1 trilyun!

Iklan juga disinyalir banyak yang dibiayai oleh uang panas, seperti dari hasil pencucian uang atau sumbangan pengusaha hitam. Keadaan ini akan membuat kandidat yang mengiklankan diri itu, jika terpilih, akan lebih mengabdi kepada kepentingan pengusaha hitam yang menyumbangnya dibandingkan dengan rakyat. Ironisnya, data minimal tentang sumber dana untuk iklan dan berapa besarnya ini masih termasuk data yang sulit dicari. Pengamat politik Indria Samego juga mempertanyakan transparansi dana dari parpol yang beriklan, yang menurutnya, sangat rentan dengan praktik penyelewengan. Penyelewengan ini juga akan sangat rentan sekali ketika pemilik televisi atau media massa menjadi partisan atau pengurus sebuah parpol.