MENGINGATKAN PEJABAT ITU IBADAH
Seorang pejabat, apalagi Gubernur harus siap dikritisi dan disorot oleh publik karena hal itu merupakan bagian dari keterbukaan informasi publik. Media sosial juga semakin memberi ruang kepada masyarakat untuk mengontrol pemerintahan dan pejabat publik. Bahkan melalui media sosial, media-media konvensionalpun tidak luput dari kritik dan sorotan publik. "Media konvensional tidak lagi mutlak sebagai sarana pembentuk opini, saat ini media sosial juga sangat berpengaruh dan di `update` (perbaharui) setiap saat.
Janganlah ketika ada yang mengkritik atau memberi masukan terus dibilang “Pasukan Nasi Bungkus” atau istilah lainnya “Di Bayar Berapa ?”. Seorang pejabat bukanlah makhluk suci bagaikan Nabi yang membawa kitab suci dan juru selamat sehingga bersih dari dosa hanya karena mungkin menjadi “ Kekasih Media.” Kemudian juga jangan sampai kritik itu disikapi dengan berlebihan seperti gerakan dukungan dengan “CAP STEMPEL DARAH” atau “CAP JEMPOL DARAH” untuk membela sang “Pejabat” tersebut. Kultus Individu, pendewaan, dan memuliakan berlebihan janganlah menjadi adat istiadat baru di bumi Indonesia ini. Janganlah kecintaan kita pada seseorang pejabat menghilangkan akal dan rasionalitas kita.
Ada kedewasaan yang hilang dalam kehidupan dan aktivitas berpolitik saat ini. Kedewasaan yang tenggelam dalam fanatisme terhadap pejabat, fanatisme yang menempatkan seorang pejabat pada posisi anti kritik.
Padahal dukungan itu datang tidak selalu dengan pujian dan sanjungan tetapi juga dapat diberikan dalam bentuk kritik membangun dan saran, jadi jangan anggap semua kritik dan masukan itu menyerang dan melemahkan.
Peran para ulama adalah memang harus berani mengingatkan pemimpin. Seorang pemimpin boleh saja merasa dirinya sebagai penguasa, namun hendaknya ada ulama yang berani mengingatkan setiap kekeliruan yang diperbuatnya.
Ali bin Abi Thalib ra., berkata, “Sesungguhnya di neraka Jahanam, terdapat ular-ular dan kalajengking sebesar bagal (peranakan antara kuda dan keledai) yang mematuk setiap pemimpin (penguasa) yang tidak berlaku adil terhadap rakyatnya....”
Tugas ulama dan pemimpin ummat adalah mengingatkan penguasa agar tidak begitu saja tunduk dan patuh pada para kalangan borjuis dan kapitalis. Peran ulama adalah menyampaikan pada ummat agar tidak tertipu oleh orang-orang yang hanya didisain penampilannya saja.
Para ulama adalah sumber penting bagi umara (pejabat) untuk mengetahui kondisi umat dan apa yang menjadi kerisauan mereka.Dalam kehidupan bernegara, ulama juga berperan sebagai cendekiawan yang memberikan pencerahan kepada umat. Ulama juga wajib memberi pencerahan dalam megingatkan penguasa untuk selalu mengutamakan kepentingan umat. Ulama dapat secara aktif menasihati dan mengingatkan penguasa.
Janganlah ketika ada yang mengkritik atau memberi masukan terus dibilang “Pasukan Nasi Bungkus” atau istilah lainnya “Di Bayar Berapa ?”. Seorang pejabat bukanlah makhluk suci bagaikan Nabi yang membawa kitab suci dan juru selamat sehingga bersih dari dosa hanya karena mungkin menjadi “ Kekasih Media.” Kemudian juga jangan sampai kritik itu disikapi dengan berlebihan seperti gerakan dukungan dengan “CAP STEMPEL DARAH” atau “CAP JEMPOL DARAH” untuk membela sang “Pejabat” tersebut. Kultus Individu, pendewaan, dan memuliakan berlebihan janganlah menjadi adat istiadat baru di bumi Indonesia ini. Janganlah kecintaan kita pada seseorang pejabat menghilangkan akal dan rasionalitas kita.
Ada kedewasaan yang hilang dalam kehidupan dan aktivitas berpolitik saat ini. Kedewasaan yang tenggelam dalam fanatisme terhadap pejabat, fanatisme yang menempatkan seorang pejabat pada posisi anti kritik.
Padahal dukungan itu datang tidak selalu dengan pujian dan sanjungan tetapi juga dapat diberikan dalam bentuk kritik membangun dan saran, jadi jangan anggap semua kritik dan masukan itu menyerang dan melemahkan.
Peran para ulama adalah memang harus berani mengingatkan pemimpin. Seorang pemimpin boleh saja merasa dirinya sebagai penguasa, namun hendaknya ada ulama yang berani mengingatkan setiap kekeliruan yang diperbuatnya.
Ali bin Abi Thalib ra., berkata, “Sesungguhnya di neraka Jahanam, terdapat ular-ular dan kalajengking sebesar bagal (peranakan antara kuda dan keledai) yang mematuk setiap pemimpin (penguasa) yang tidak berlaku adil terhadap rakyatnya....”
Tugas ulama dan pemimpin ummat adalah mengingatkan penguasa agar tidak begitu saja tunduk dan patuh pada para kalangan borjuis dan kapitalis. Peran ulama adalah menyampaikan pada ummat agar tidak tertipu oleh orang-orang yang hanya didisain penampilannya saja.
Para ulama adalah sumber penting bagi umara (pejabat) untuk mengetahui kondisi umat dan apa yang menjadi kerisauan mereka.Dalam kehidupan bernegara, ulama juga berperan sebagai cendekiawan yang memberikan pencerahan kepada umat. Ulama juga wajib memberi pencerahan dalam megingatkan penguasa untuk selalu mengutamakan kepentingan umat. Ulama dapat secara aktif menasihati dan mengingatkan penguasa.