KENYATAANNYA TREND PEROLEHAN PKS NAIK, SEMENTARA PARTAI NASIONALIS SECARA UMUM TURUN (menanggapi survey LSI tentang partai Islam)


Tahun 1998, sebuah rezim berakhir dan sebuah sistem politik berganti, sistem tiga partai dengan mayoritas tunggal (Golkar); berganti dengan menjadi sistem multipartai tanpa batas; tiba - tiba ada 160-an partai politik yang mendaftar untuk ikut pemilu 1999, walaupun hanya 48 yang lolos verifikasi.

Diantara begitu banyak partai politik itu, partai - partai Islam muncul menjadi sebuah fenomena. Bahkan banyak tokoh yang selama ini dikenal sebagai pengagagas Islam kultural turut bergabung dengan mendirikan partai politik, Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Amin Rais misalnya.

Apa arti fenomena ini? Islam politik atau Islam struktural ternyata tidak mati. Lingkungan strategis berubah dan pendekatan kultural untuk sementara agak menyingkir, persis seperti yang pernah dialami pendekatan politik struktural pada dekade 70-an dan 80-an.

Fitnah terhadap Islam dan juga partai politik Islam sepanjang sejarah Islam tampaknya mengalami pengulangan dengan struktur yang sama. Para orientalis menyebarkan gagasan - gagasan untuk menutupi fakta tentang Islam sebagai sebuah sistem kehidupan. Pada suatu massa di awal abad ke-20, beberapa orang intelektual Mesir dikirim ke Perancis untuk belajar Islam. Salah seorang di antara mereka Dr. Ali Abduraziq, kemudian kembali dengan membawa gagasan tentang "Islam tanpa politik".

Snouck Hougronje datang ke Indonesia meneguhkan gagasan tersebut dan berhasil memperpanjang masa penjajahan Belanda di negeri ini. Sebabnya? Kaum muslimin di sini tidak menganggap politik bagian dari Islam.

Pada tahun 70-an awal, gagasan yang sama dengan latar belakang sosial politik yang berbeda muncul ke permukaan pemikiran Islam: :Islam Yes, partai Islam No". Sekarang Kalangan Islam liberal membawa gagasan yang sama: jangan bawa syariat Islam dalam kehidupan bernegara.

Tapi syubhat-syubhat itu sudah relatif selesai, dan tidak lagi efektif mencegah laju kebangkitan Islam. Sejak tahun 70-an hingga saat ini laju kebangkitan Islam telah berkembang dari sekadar gerakan pemikiran menjadi gerakan sosial politik yang merata di seluruh dunia Islam.
 
Kini syubhat itu coba dimunculkan kembali melalui lembaga dan kegiatan yang dikategorikan ilmiah, yaitu survey. Mereka menggiring umat ini agar percaya dan mengikutinya bahwa 2014 adalah waktu kiamat bagi partai politik Islam. Padahal survey adalah bukan Tuhan yang layak dipercaya seratus persen yang dapat menentukan nasib di masa yang akan datang. Semunya adalah perkiraan, semuanya bisa salah.













LPES pernah mensurvei bahwa tahun 2004 suara PDIP akan mencapai hanya 7 %, Golkar 10 %, PPP 5 %, PKB 2 %,  PAN 4 %. Kenyataannya pada pemilu 2004, PDIP memperoleh 15,5 %, Golkar meperoleh 21,62 %, PPP mendapatkan 8,16 %,  PAN mendapatkan 6,41 %, dan PKB mendapatkan 10,61 %. Semua prediksi hasil survey tersebut meleset semua, kalau sudah seperti ini, pakah kita akan terus mempercayai hasil survey sebagai patokan yang pasti ?

Pada pemilu 2004 suara PDIP turun menjadi 15,5%. Partai Demokrat yang baru ikut dalam pemilu 2004 langsung mendapat 7%. Suara Partai Keadilan Sejahtera meningkat dari 1% menjadi sekitar 7%. Pada Pemilu tahun 2009 perolehan Golkar, PDIP dan sejumlah partai besar menurun, yang naik justru Demokrat. Suara Golkar turun sekitar 8%, PKB turun sekitar 5,5%, PDIP turun 4,5%. Sedangkan Demokrat naik sebebsar 14% dan tampil sebagai pemenang Pemilu. Jadi dari turun 1999 sampai 2009 suara partai yang katanya nasionalis seperti Golkar dan PDIP perolehannya terus mengalami penurunan. Sementara PKS sebagai partai politik Islam mengalami kenaikan, jumlah kursi tahun 1999 adalah 7 kursi, tahun 2004 adalah 45 kursi, dan tahun 2009 naik menjadi 57 kursi, walaupun kenaikannya tidak sedahsyat partai demokrat (nasionalis religius).

Kadang Penguasa dan para elite jadi paranoid akan kebangkitan Islam. Mereka menyeret rakyat ke dalam konflik - konflik politik berkepanjangan. Misalnya dengan mendiskreditkan golongan tertentu untuk kepentingan politik pada pemilu tahun 2014. Modusnya agak mirip saat orde baru berkuasa, lihatlah bagaimana orde baru menerima baik gagasan "Islam Yes patai Islam No", dan pada waktu yang sama memerangi gagasan partai politik Islam sampai akar - akarnya. Orde Baru memang menjadikan Islam Politik sebagai salah satu musuhnya.

walaupun begitu, tidak juga merupakan sikap ksatria kalau kita tidak mau merendah untuk mengakui sebuah fakta besar, bahwa sejak pemilu 1955 hingga pemilu 1999 perimbangan perolehan suara Islam dan sekuler selalu di kisaran 40 (Islam) : 60 (sekuler). Jadi bahkan dalam sebuah prosedur yang demokratis pun mayoritas ummat Islam belum tentu berafiliasi secara ideologi kepada Islam.  Agama tidak mempengaruhi pilihan politik mereka. Pemikir - pemikir sekuler tampaknya lebih berhasil mensosialisasikan pemikiran - pemikiran mereka di kalangan ummat. Mereka lebih agresif, lebih pandai dalam mengemas gagasan, lebih pintar memilih pola pendekatan, lebih solid, dalam organisasi, lebih banyak sarana dan dan, lebih luas pula jaringannya.

Kadang sebegitu kasarnya mereka mematikan demokrasi, kadang juga denga halus berkuasa melalui mayoritas tunggal. Kadang - kadang dengan bendera komunisme, kadang juga dengan bendera nasionalisme. Merekalah yang kelak biasanya sering merubah penjara menjadi perkampungan aktivis islam.

Banyak pengamat politik Barat seperti John Esposito , mengatakan bahwa partai - partai Islam tidak perlu dikhawatirkan, sebab popularitas mereka akan hancur sendiri begitu mereka berkuasa. Mereka tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk membuktikan janji - janji Islam.
Namun nada optimis muncul dari cendikiawan muslim dunia, DR. Yusuf Qaradhawi mengatakan, "Kalau saja kita diberi kebebasan selama 20 tahun untuk membina umat, tanpa gangguan dan tekanan penguasa, atau konflik dengan mereka, maka itu sudah cukup untuk mengembalikan kejayaan umat Islam kembali."


Jadi pemaknaan aktivitas politik kita harus diubah secara mendasar. yang kita lakukan adalah sebuah gerakan kebangkitan kembali yang komprehensif dan integral. Menyiapkan pemimpin, mengkondisikan ummat, membangun institusi, merumuskan konsep. Bukan sekadar kampanye politik, setelah itu mengutuk ummat yang tidak memilih politik Islam. Jarak realitas itulah yang harus kita ketahui, untuk kita tembs dengan kerja keras.   

disarikan dari buku "dari Gerakan ke Negara" tulisan M Anis Matta terbitan Fitrah Rabbani