Mengokohkan Ukhuwah Dengan Ta’awun


“Al Islaamu Nidzomun syamilun yatanaawalu madzaahiral hayaati jami’an,”
Sebuah pernyataan yang sangat fantastis dari Imam Syahid Hasan Al Banna ketika beliau memberikan pemahaman kepada kita tentang Islam sebagai agama yang syamil (menyeluruh). Tidak ada agama di dunia ini yang mengatur kehidupan umatnya secara detil, rinci dan komprehensif selain Islam. Salah satu aspek yang diatur dalam kehidupan adalah mengenai ukhuwah.

Ukhuwah secara bahasa adalah persaudaraan, dari akar kata yang mulanya berarti memperhatikan. Ukhuwah fillah atau persaudaraan sesama muslim adalah suatu model pergaulan antar manusia yang prinsipnya telah digariskan dalam al Qur’an dan Hadist, yaitu suatu wujud persaudaraan karena Allah.

Sejarah telah membuktikan bahwa wujud persaudaraan muslim mampu membentuk suatu komunitas masyarakat yang kokoh dan bersatu pada suatu peradaban ummah yang terbaik dan mampu bertahan selama 8 abad. Hal ini senada dengan pengakuan jujur seorang orientalis berkebangsaan Perancis, Gustav Le Bon yang mengatakan bahwa peradaban Islam untuk jaya hanya butuh 80 tahun dan mampu bertahan 800 tahun untuk kemudian mengalami kemunduran. Sedangkan peradaban Romawi untuk jaya membutuhkan waktu 800 tahun dan untuk runtuh hanya butuh waktu 80 tahun.

Sifat persaudaraan sebagai manifestasi ketaatan kepada Allah akan melahirkan sifat lemah lembut, kasih sayang, saling mencintai dan tolong menolong. Itulah hakikat dari ukhuwah sebagaimana Firman Allah SWT dan sabda Nabi SAW berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (12)

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” QS:49:12

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا
“Dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jauhilah oleh kalian perasangka, sebab perasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara.” (HR. Bukhari).

Salah satu pilar dari ukhuwah adalah ta’awun, yang berarti saling membantu. Konsep ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam surat Al Maidah ayat 2.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (2)

“Saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan takwa dan jangan menjalankannya dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. QS 5:2
Dalam hadist juga disebutkan tentang hal ini, diantaranya :

عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ سَالِمًا أَخْبَرَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

(BUKHARI - 2262) : Dari 'Uqail dari Ibnu Syihab bahwa Salim mengabarkannya bahwa 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhuma mengabarkannya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak menzhaliminya dan tidak membiarkannya untuk disakiti. Siapa yang membantu kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya. Siapa yang menghilangkan satu kesusahan seorang muslim, maka Allah menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari qiyamat. Dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya pada hari qiyamat".

Imam muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Musa Al-Asy’ari RA, ia berkata Nabi SAW didatangi oleh orang yang meminta suatu kebutuhan, beliau menghadap kepada orang-orang yang duduk di hadapannya lalu bersabda, ”Tolonglah niscaya kalian mendapatkan pahala, agar Allah memenuhi melalui lisan Nabi-Nya apa yang disukai-Nya.’

Dalam fiqih ukhuwah yang ditulis DR. Abdul Halim Mahmud disebutkan bahwa derajat paling minimal dalam memenuhi kebutuhan saudaranya adalah memenuhi kebutuhannya ketika ia memintanya. Adapun ketika memenuhi kebutuhan saudaranya dengan ketentuan sebagai berikut:

• Hendaklah kebutuhan itu merupakan hal mubah yang dihalalkan oleh Allah
• Hendaklah yang memenuhi kebutuhan itu adalah orang yang mampu melaksanakannya, karena Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kadar kemampuannya, ia juga berkewajiban untuk memintakan pertolongan bagi saudaranya itu kepada orang yang mampu memenuhi kebutuhannya, jika dirinya tidak mampu.
• Hendaklah ia memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu dengan wajah berseri-seri
• Jangan menunggu sampai saudaranya itu memintanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Sedangkan Kaidah umum dalam memenuhi kebutuhan saudaranya adalah” barangsiapa mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang mubah itu, ukhuwah dalam Islam telah mewajibkannya untuk memenuhinya. Apabila ia tidak mampu, ia berkewajiban untuk memintakan pertolongan pihak lain untuk memenuhinya, baik permintaan tolong itu ditujukan kepada penguasa, pemimpin, maupun siapa saja, baik kebutuhan itu berupa pencegahan terhadap kezhaliman, pengampunan hukuman, pengembalian hak kepada pemiliknya atau kepada orang yang membutuhkan atau lainnya.”

Imam Ghazali RA, berkata dalam bukunya Ihya ’Ulumudin, diantara kaum salaf ada yang senantiasa membantu kebutuhan keluarga dan anak-anak saudaranya, meskipun saudaranya itu sudah meninggal 40 tahun yang lalu. Ia memenuhi kebutuhan mereka setiap hari dengan memberikan kepada mereka sebagian hartanya. Mereka seperti tidak merasakan kehilangan bapak mereka selain wujud fisik belaka. Bahkan mereka melihat pada diri orang ini sesuatu yang tidak mereka lihat pada bapak mereka.”

Ada pula salah seorang dari mereka yang bolak-balik ke pintu rumah saudaranya dan bertanya”. Apakah kalian mempunyai minyak? Apakah kalian mempunyai garam? Apakah kalian mempunyai kebutuhan untuk hari ini?’ ternyata ia yang memenuhi kebutuhan saudaranya tanpa sepengetahuannya. Dengan demikian tampak kasih sayang dan ukhuwah diantara mereka. Apabila kasih sayang tidak membuahkan perasaan kasihan kepada saudaranya sebagaimana mengasihi diri sendiri, tidaklah ada lagi kebaikan padanya. Semoga kita tidak termasuk orang yang disebut Nabi SAW dalam sabdanya:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ

”Takutlah kalian kepada kezaliman, karena kezhaliman itu kegelapan pada hari kiamat. Takutlah kalian pada sifat syuhh (kikir), karena sifat ini telah menghancurkan orang sebelum kalian, menjadikan mereka saling menumpahkan darah sesamanya, dan menghalalkan hal-hal yang diharamkan atas mereka” (HR Muslim)