Ternyata, Sang Raksasa pun Bisa Jatuh
Ada dua hal yang dapat membuat raksasa itu jatuh.
Pertama adalah bahwa mempertahankan kedigdayaan ternyata bukan hal yang mudah. Kejayaan yang bisa terus dipertahankan itu ternyata bukan taken for granted. Itulah kenapa kita mesti memberikan applaus kepada organisasi yang selama puluhan tahun tetap bisa menjadi leader seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dan lain-lainnya.
Kedua adalah munculnya apa yang bisa disebut sebagai innovator dilemma (tema ini diuraikan dengan amat mendalam oleh Clayton Christensen dalam buku best seller berjudul : The Innovator’s Dilemma: The Revolutionary Book that Will Change the Way You Do Business). Inti dari innovator dilemma adalah ini : para penguasa itu ragu melakukan inovasi lantaran takut program inovasinya itu akan meng-kanibal atau menghantam balik program utamanya yang masih laku di pasaran.
Innovator dilemma terjadi, bukan lantaran para penguasa tidak bisa melihat arah pasar. Atau juga bukan karena mereka tidak mampu melakukan inovasi. Mereka tahu persis arah pasar dan sangat kapabel dalam melakukan inovasi, tetapi satu hal mereka penakut.
Dan saat mereka sadar bahwa ketakutan itu tidak beralasan, segalanya telah terlambat. Kompetitor yang sigap dan nothing to lose dengan segera mengambil kesempatan itu. Lalu meninggalkan sang incumbent (penguasa saat itu) yang terpelanting ke pinggir arena.
Kita juga pasti pernah mendengar tentang takluknya dua negara raksasa waktu itu, yaitu Romawi dan Persia yang takluk di tangan kaum muslimin.
Begitu juga saat pembebasan Jerussalem, Amirul Mu'minin Umar ibn Khattab bersama sejumlah pembantu dekatnya - Khalid ibn Walid, Amr ibn Ash, Abdur Rahman ibn Auf, Mu'awiyah ibn Abi Sufyan - menandatangani perjanjian damai dengan kaum Nasrani Jerusalem. Pihak Nasrani dipimpin Uskup Sophronius, penguasa Jerusalem.
"Bismillahirrahmanir rahim, ini adalah jaminan yang diberikan kepada penduduk Aelia (nama Jerusalem waktu itu) oleh hamba Allah Amirul Mu'minin Umar ibn Khattab. Dia memberi mereka kepastian dan keamanan untuk diri mereka, segala milik mereka, gereja-gereja mereka, salib-salib mereka – baik yang kondisinya masih baik maupun yang sudah buruk - dan peribadatan mereka secara umum... Tidak ada larangan apapun yang akan diterapkan dalam soal agama. Tak seorang pun akan diganggu...."
Umar dan penguasa-penguasa muslim selanjutnya tidak hanya memberi kebebasan kepada kaum Nasrani setempat, tapi juga kepada orang Yahudi. Perjanjian itu merupakan tonggak bersejarah, tak cuma bagi kaum muslim, tapi juga bagi kaum Yahudi. Betapa tidak, semenjak itu, kaum Yahudi yang selama 500 tahun dilarang masuk Aelia (Jerusalem), kini mulai mengenyam kebebasan di kota suci mereka. Bahkan mereka diperbolehkan beribadah di bukit Temple Mount, yang terletak di bagian timur kota itu.