JANGAN TERTIPU DENGAN POPULARITAS ORANG

Hajjah Zainab Al-Ghazali berkata : Asy-syahid Abdul Fattah Ismail melihat gejala akan adanya kekalahan di kalangan pemimpin ikhwan pada tahun 1965 M. Kemudian hal ini diadukan kepada Ustadz Hudaibi.  Kemudian Beliau berkata :
“Sampaikan kepada Abdul Fatah Abduh Ismail : Janganlah kamu tertipu oleh jabatan orang, popularitas mereka dan nama – nama mereka. Janganlah kamu melihat ke belakang tetapi pandanglah ke depan … ke masa depan ..” Kemudian Beliau berkata : janganlah kamu berbicara kepadaku lagi tentang hal seperti ini.
Popularitas adalah hal yang paling banyak dicari di jaman sekarang. Sampai-sampai banyak manusia yang menjual agamanya hanya karena mengejar popularitas.
Banyak dikenal oleh manusia. Siapa yang tidak mau? Setiap berjalan ada yang mengenali, setiap lewat ada yang menyapa. Mungkin sudah fitrah bagi manusia agar ingin dikenal orang lain. Namun hal ini akan berbeda jika kita melihat amalan para ulama salaf. Mereka bahkan benci yang namanya popularitas. Mereka tidak ingin dikenal meskipun mereka sendiri adalah seorang ulama yang terkenal. 
Nabi bersabda,“Wahai bangsa Arab, wahai bangsa Arab, wahai bangsa Arab (beliau menyebutkan tiga kali), sesungguhnya yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah riya, dan syahwat yang tersembunyi. “ Disebutkan dalam An-Nihayah fii Gharibilatsar, “Syahwat yang tersembunyi adalah keinginan agar manusia melihat amalnya. “

Berkata Bisyr bin Al-Harits, “Tidaklah bertakwa kepada Allah orang yang mencintai popularitas.” (Siyar A’lam An-Nubala).

Berkata Imam Ahmad bin Hanbal, “Aku ingin tinggal di suatu lembah di Mekah hingga tak dikenal, sungguh aku telah diuji dengan popularitas. “(Siyar A’lam An-Nubala)
Abdullah bin Mubarak juga pernah berkata, “Jadilah orang yang  menyukai status tersembunyi (tidak terkenal) dan membenci popularitas”
Saat ini yang paling banyak digunakan oleh para pejabat atau calon pejabat adalah politik pencitraan dalam rangka mencari popularitas. Politik pencitraan ini muncul akibat politik Indonesia yang tidak lagi bisa dikelola melalui cara-cara menakutkan gaya Orde Baru (represi, intimidasi, kekerasan fisik, tuduhan subversif), tetapi harus dikelola dengan cara-cara yang “merangkul” rakyat. Lahirlah politik pencitraan. Namanya juga citra, jadi ya sifatnya pasti permukaan. Beberapa politik pencitraan di Indonesia yang kita kenal diantaranya adalah pergi ke pasar tradisional, makan di angkringan, naik KRL untuk Jakarta dan sekitarnya, makan nasi aking, duduk lesehan di pertemuan warga atau nonton acara layar tancep, nginep di rumah warga miskin, ikut kerja bakti warga, ikut jualan sembako, jadi among tamu kalau pas ada kondangan, dan lain - lain.

Namun, “apakah popularitas yang para pejabat atau calon pejabat miliki sudah parallel seimbang dengan kapabilitas yang dimiliki ?”
Terlalu mahal harga dan biaya yang dipertaruhkan ketika nasib masa depan bangsa ini justru ditentukan oleh popularitas, bukan kapabilitas.